“Hati-hati jika anda ingin melakukan aktivitas spesial dengan isteri anda!” Itu nasehat seorang ustadz dalam pengajian di suatu majelis taklim. Mereka yang hadir umumnya pasangan suami isteri (pasutri) muda, yang saat itu sedang menyimak materi tentang masalah-masalah keluarga. Sang Ustadz sengaja menyoroti masalah itu, lantaran menurutnya, masih banyak para pasutri yang kurang hati-hati ketika hendak bermesraan dengan pasangannya di rumah. Sehingga disadari atau tidak, tak jarang adegan “orang dewasa” mereka, terintip oleh anak-anak mereka yang sudah memiliki nalar cukup baik.
Urusan bermesra-mesraan dengan istri atau suami kita di dalam rumah, memang bukan sesuatu yang terlarang. Bahkan Islam memandang hal itu sebagai ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya saja persoalannya, kapan “ibadah spesial” itu dilakukan. Artinya apakah tempat dan waktunya cukup aman dari pendengaran dan penglihatan anggota keluarga kita yang lain, terutama si buyung atau si upik yang usianya sudah mencapai usia 10 tahun?
Islam mengingatkan para pasutri untuk berhati-hati memperlihatkan atau mengisyaratkan, baik lewat visual maupun ucapan yang berkonotasi pada aktivitas seksual, walaupun di dalam rumah. Bila anak-anak di bawah umur tanpa sengaja melihat atau mendengar adegan atau suara “aneh” dari kamar orangtua mereka, tentu akan menimbulkan fantasi macam-macam dalam benak mereka. Ini tentunya beresiko. Bukan hanya anak-anak kemungkinan bisa tumbuh lebih “matang” dari usia yang sebenarnya. Tapi yang dikhawatirkan adalah, anak-anak itu akan mencoba-coba mengikuti atau bertingkah laku seperti apa yang ada dalam fantasinya.
Karena itulah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam (SAW) mengajarkan kita untuk memprotek anak-anak dari kemungkinan berbuat tidak senonoh lantaran terstimulan oleh penampilan kita, gambar, atau film-film berkonotasi seks. Nabi SAW dalam sebuah haditsnya mengingatkan;
”Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan sholat di kala mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya di kala mereka berumur 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya." (h.r Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan shahih atau hasan).
Pada hadits lain Rasulullah saw bersabda;
”Pukullah anak-anak karena meninggalkan shalat pada usia tujuh tahun. Pisahkanlah tempat tidurnya pada usia sembilan tahun. Dan kawinkanlah pada usia 17 tahun jika memungkinkan.”
Memisah tidur anak-anak yang telah berusia 9-10 tahun sebagaimana diperintah hadist di atas, itu penting. Hal ini menegaskan, betapa Islam mengisolir seketat-ketatnya anak-anak dari rangsangan atau fantasi-fantasi seksual. Baik itu yang diperlihatkan melalui media, maupun perilaku orangtua mereka sendiri.
Peringatan Nabi saw tersebut, harus dijaga kuat. Sebab pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, akan sangat beresiko. Penyimpangan perilaku seksual bisa terjadi pada diri anak. Bentuk penyimpangan itu bisa secara nyata, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman bermain, binatang, atau boneka. Bisa dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, misal berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenisnya.
Kasus yang pernah terjadi di Surabaya beberapa tahun lalu, yakni seorang anak usia belasan tahun yang memperkosa ibu kandungnya, bisa dipahami melalui hadits ini. Demikian juga kejahatan-kejahatan seksual atau perbuatan asusila oleh remaja yang marak akhir-akhir ini, kiranya bisa menjadi parameter, sejauh mana kepedulian orangtua terhadap peringatan Nabi yang ma’shum itu.
Usia 9 atau 10 tahun merupakan titik usia yang rawan. Seorang perempuan bisa mencapai ‘aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche. Sementara pada anak laki-laki, jika kita menengok pada literatur, dua tahun berikutnya dia akan mengalami ihtilam (mimpi basah). Tetapi, untuk masa sekarang, tampaknya seorang anak laki-laki tak perlu menunggu usia 11 atau 12 tahun untuk menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi indah).
Pada masa ini, bayangan-bayangan seksual mulai kuat-kuatnya mengganggu pikiran anak. Dalam diri mereka tumbuh dorongan yang meluap-luap untuk menyukai lawan jenisnya dan cenderung akan bersikap mesra terhadap temannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan untuk mengalami kemesraan, ada jurang-jurang yang dapat menyimpangkan dorongan primitif mereka. Sehingga mereka menyukai sesama jenis misalnya. Itulah, kenapa Nabi mulia melarang anak tidur dalam satu sarung dengan sesama jenisnya.
Inilah masa anak-anak sedang bersemangat. Kemana semangat itu mengarah, sangat tergantung dari apa yang hadir di dalam benaknya. Apakah yang masuk ke dalam pikirannya berupa ajaran-ajaran suci Ilahi, atau justru iklan-iklan, filem, serta hiburan-hiburan cabul lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah lagu-lagu berisi syair berkonotasi cabul.
Para orangtua perlu merenungkan hal ini, ketika kian maraknya “kenakalan” anak-anak. Termasuk juga kejahatan-kejahatan seksual yang mereka lakukan. Barangkali salah satu faktor penyebabnya adalah, karena kelalaian kita. Karena kita tidak memperhatikan lingkungan mereka di rumah, apalagi di luar. Sehingga anak-anak tumbuh berkembang sesuai dengan fantasi-fantasi liar yang mengepung pikirannya. Na’udzu billah min dzalik. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla melindungi kita dan anak-anak kita dari mata dan perbuatan jahat kaum pendosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar