Kata Cohen dan Cohen (1993), ada dua kelompok penyakit psikologis perusahaan:
Kelompok pertama adalah penyakit psikosis (psychoses), yakni jenis penyakit psikologis yang menyebabkan penderitanya kehilangan kemampuan memahami realitas. Bila perusahaan menderita jenis penyakit ini, perusahaan sering memiliki persepsi yang salah tentang realita lingkungan bisnis yang mengitarinya. Oleh karenanya, dapat membuat inferensi yang salah terdapat pokok-pokok persoalan strategis yang dihadapi. Hal demikian tak hanya terjadi ketika signal lingkungan bisnis amat lemah, akan tetapi juga dapat terjadi ketika lingkungan bisnis telah memberikan signal yang nyata dan jelas. Termasuk dalam penyakit jenis ini adalah : perilaku mania (manic behavior), depresi mania (manic depression), sizoprenia (schizophrenia) dan paranoid.
Kelompok ke dua disebut neurosis (neuroses), yakni ketidakstabilan emosi. Sekalipun penderitanya tidak sampai kehilangan kontak dengan realitas, akan tetapi tidak mampu memahami realitas yang berlangsung. Indikasinya, perusahaan menunjukkan perilaku cemas, takut dan tidak rasional, lebih banyak bersikap reaktif dan tak mampu sama sekali bersikap proaktiv. Perusahaan cenderung memberi nilai pada aspek negatif yang berlebihan dibanding pada aspek positif terhadap peluang, tantangan, ancaman bisnis yang dihadapinya. Termasuk penyakit jenis ini antara lain perilaku neurotik (neurotic behavior), depresi (depression), intoksikasi (intoxication), obsesi kompulsi (obsessive compulsion) dan sindrom pasca trauma (post trauma syndrome).
Apabila perusahaan menderita penyakit psikologis secara kronis, bisa jadi perusahaan gagal mengembangkan keunggulan bersaing. Dalam keadaan yang demikian keunggulan bersaing yang dimiliki akan terus menerus mengalami penurunan (competitive sclerosis). (Gilad 1995)
Ujung-ujungnya, ia tidak mampu bersaing. Perusahaan tak lagi dapat menjalankan fungsi bisnisnya, yang disebut sebagai negaholik (corporate negaholic) oleh Carter-Scott (1991).
AKIBAT penyakit psikologik adalah :
a. rusaknya moral pegawai,
b. menurunnya produktivitas,
c. rendahnya kwalitas produk,
d. rendahnya mutu pelayanan konsumen,
e. frustrasi dan rusaknya karir pegawai,
f. praktik strategi bisnis yang tidak rasional dan memudarnya kepemimpinan.
1. Perilaku Mania
Memiliki kepercayaan diri yang berlebihan dan dipenuhi dengan rasa antusias yang tinggi yang pada gilirannya dapat menyebabkan sangat kecilnya peran logika dan prinsip bisnis dalam pengambilan keputusan. Perusahaan merasa memiliki kemampuan yang tak tertandingi. Oleh karenanya, perhatian ditujukan kepada perumusan rencana dan strategi bisnis yang berskala besar. Kadang manajemen menetapkan target bisnis yang amat tinggi, yang jika dievaluasi secara rasional berada jauh dari kemampuan yang selama ini dimiliki.
2. Depresi mania :
Jika digunakan metafora sebagai penjelas, maka organisasi yang menderita penyakit mania, selalu berada pada tangga nada suara yang tinggi secara terus menerus. Berbeda dengan depresi mania, organisasi yang sedang menderita penyakit ini, kadang berada pada tangga nada yang amat tinggi, namun di saat yang lain, secara mendadak berada pada tangga nada yang paling rendah. Berpindah-pindah pada dua titik ekstrim.
Lebih dari itu, proses tersebut terjadi berulang-ulang dan berkepanjangan. Ketika pada masa mania, organisasi berada pada moda yang antusias, memiliki kepercayaan yang berlebihan, namun jika berada pada moda depresi, organisasi secara mendadak kehilangan energi dan semangat sehingga organisasi hanya memiliki sifat yang apathis.
3. Sizophrenia:
Organisasi yang menderita penyakit ini, ditandai oleh perilaku manajerial yang tidak terorganisir (disorganized), diliputi suasana kebingungan, dan dengan demikian bersuasana chaos (kacau balau). Tak ditemukan perumusan dan implementasi strategi yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Oleh karenanya tak heran jika banyak perilaku organisasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan tak dapat diduga. Satu departemen tertentu amat sering tidak mengetahui apa yang sedang terjadi/sedang dikerjakan oleh departemen lain dan (tidak merasakan ) keterkaitan antara departemen. Sering juga ditandai dengan sikap overactive, akan tetapi tak terarahkan pada suatu target tertentu.
Beda mania dengan sizophrenia adalah bila pada mania secara pokok memiliki visi, misi dan target yang sangat ambisius dan tak realistis, maka pada sizophrenia terletak pada tidak adanya visi, misi, tujuan dan strategi bersaing yang jelas dan logis. tak ada rumusan kebijaksanaan. Kalaulah ada hampir bisa dipastikan tidak koheren (runtut) dan tidak komprehensif. Oleh karena itu, suasana kerja diliputi ketegangan dan dengan tingkat stress yang tinggi. Dalam aktivitas sehari-hari, orang tidak memahami apa yang diharapkan akan dicapai oleh dirinya sendiri, yang pada gilirannya berakhir pada munculnya rasa khawatir (tidak aman) yang berlebihan.
4. Paranoid:
Organisasi yang menderita penyakit ini ditandai oleh rasa tidak percaya pada siapapun yang berada di dalam atau di luar organisasi. Organisasi memperlakukan siapa saja, termasuk pegawai dengan sikap curiga yang berlebihan. Mereka dilihat sebagai ancaman yang diperkirakan akan mencoba mengambil (mencuri) keunggulan bersaing yang dimiliki organisasi. Oleh karenanya tak jarang, lingkungan kerja menjadi tak bersahabat dan berkembang subur sikap saling curiga.
5. Neurotik:
Penyakit ini ditandai rasa takut yang berlebihan. Jelasnya, organisasi memiliki sifat sebagai penakut. Gejala yang terlihat adalah adanya kekhawatiran atau ketakutan akan ketidakmampuan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Orang-orang dalam organisasi cenderung memutuskan dan memulai aktivitas dengan menggunakan waktu, dana dan tenaga yang lebih ditujukan untuk menghindari kegagalan dibanding tujuan tuk memperoleh keberhasilannya.
6. Depresi:
Indikasinya adalah kapasitas organisasi terus menerus mengalami penurunan. Pemilik, manajer, dan karyawan yang terlibat di dalamnya bersikap apathis. Mereka tak peduli dengan masa depan organisasi karena mereka tak merasa memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu. Mereka tak memiliki gairah bekerja dan lebih dari itu tak memiliki komitmen. Mereka tak memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi sumber daya dan dana untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Lebih tragis lagi, ketidakmampuan tersebut justru menjadi pendorong tingginya intensitas depresi yang diderita.
7. Intoksikasi:
Perilaku dalam organisasi persis seperti orang yang kecanduan alkohol atau obat terlarang, persis seperti perilaku orang mabuk. Sekalipun paham bahwa penyakit tersebut memberikan efek negatif, akan tetapi organisasi biasanya tak dapat menerima kenyataan bahwa dirinya sedang menderita penyakit intoksikasi. Oleh karena itu organisasi tidak memiliki keinginan atau bahkan tak mampu mendeteksi penyakit yang sedang diderita. Akibatnya organisasi cenderung menolak tantangan. Organisasi menutup mata dan telinga untuk menangkap signal bisnis, baik yang datang dari internal maupun eksternal. Cepat atau lambat, organisasi akan terjerumus ke dalam jurang kegagalan.
8. Obsesi kompulsi:
Penyakit ini ditandai dengan adanya keinginan yang kuat untuk mengerjakan segala sesuatu secara sempurna. Tak ada kata hanya sekedar baik atau cukup, apalagi minimalis. Akibatnya, organisasi tak mampu sedikitpun memeberikan toleransi terhadap sekecil apapun kesalahan yang terjadi, yang pada gilirannya dapat memberikan dorongan untuk memberikan hukuman kepada mereka yang berbuat kesalahan.
9. Syndrom pasca trauma:
Penyakit ini berupa ketidakstabilan emosional yang terjadi setelah seseorang mengalami pengalaman yang traumatis yang sulit dilupakan karena kesalahan antisipasi yang dibuat terhadap peristiwa yang dinilai memiliki pengaruh berkepanjangan dan signifikan tersebut.
Organisasi dapat mengalami sakit jenis ini setelah ia mengalami peristiwa yang traumatis, misalkan sebagai akibat pengambilan secara paksa (take over), kekalahan kontrak, reorganisasi besar-besaran, rekayasa ulang organisasi, kematian pemilik, kekalahan di pengadilan, perubahan lingkungan bisnis.
Bentuk riil penyakit ini berupa hilangnya orientasi organisasi (disorientasi), yang biasanya ditandai dengan ketidakajegan (inkonsistensi) kebijakan pokok organisasi.Gejala yang muncul misalnya berupa keterkejutan yang berlebihan (shock), perilaku yang tidak konsisten, diingat-ingatnya dan dipertimbangkannya secara terus menerus kegagalan masa lalu dalam pengambilan keputusan strategis, dan adanya konflik perencanaan dan eksekusi kebijaksanaan dengan kebutuhan riil yang mendesak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar