Jika orang ditanya; apakah budaya itu? Sebagian oang menjawab ludruk, wayang, reog, tandak, tari pendet. Sebagian lagi (kaum intelek) menjawab bahwa budaya itu adalah ‘kebiasaan’ yang meliputi kebiasaan ekonomi, politik, sistem kepercayaan, sistem matapencaharian, bahasa dan seni dalam lingkungan masyarakatnya.
Tetapi ketika ditanya untuk apa budaya itu, semua orang terdiam.
Memang budaya itu bukan sebuah alat. Tetapi jika dengan sedikit mengkaji, mengidentifikasi budaya yang hidup di lingkungan masyarakat maka akan diperoleh manfaatnya. Konflik-konflik yang terjadi di banyak daerah karena lebih disebabkan oleh seringnya kita mengabaikan fakta budaya setempat. Contoh, konflik berdarah di Sampit Kalimantan.
Pasuruan adalah kota multi kultural, artinya, di kota ini terdapat banyak adat kebiasaan, sistem nilai, norma yang satu sama lain berbeda-beda. Secara garis besar budaya Pasuruan itu saya bagi –meminjam trikhotominya Clifford Geertz- budaya santri, priyayi, abangan, dan Cina. Banyak orang yang tidak sepakat dengan kategorisasi ini. Memang dalam tataran manifest (lahir) kategorisasi budaya di Pasuruan batas-batasnya telah ambruk. Dalam mengkonsumsi makanan misalnya, kaum santri suka sekali makan cap cay, koloke, bihun goreng, fuyung hay, bak pao. Dengan catatan yang dimakan itu tidak diharamkan dalam agama (baca:Islam).
Orang Cina Pasuruan (sekarang) maupun komunitas priyayi (juga sekarang) amat suka melahap makanan ke- arab-araban (santri) yang di masa yang lalu amat dibencinya seperti; sate kambing, gule kacang ijo, dhobi, maraq, kebuli, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam hal cara berpakaian, hubungan intrapersonal, apalagi hubungan bisnis sudah tidak ada batas lagi.Tetapi dalam tingkat sistem nilai budaya terdapat perbedaan.
Plural adalah kenyataan perbedaan yang ada di masyarakat, dan kewajiban yang diperintahkan Allah kepada kita adalah untuk saling kenal mengenal. Sedangkan pluralisme adalah faham ideologi yang menafikan perbedaan. Semua agama sama saja, agamamu agamaku, agamaku agamamu.
Perbedaan bukanlah laknat.
Inna kholaqnakum min dzakarin wa untsa wa jaalnakum syu’uban wa qobailan li ta’arofu (Al Qur’an: Al Maidah:9).
Perjalanan budaya di kota Pasuruan sama panjangnya dengan kehadiran manusia itu sendiri. Periodeisasi morfologi budaya Pasuruan berurutan mulai dari pertama, kedatangan tiga agama; Hindu, Budha, dan Islam pada abad ke-9. Setelah berlabuh di Tanjung Tembikar (muara sungai Kraton Pasuruan), komunitas Hindhu dan Budha melanjutkan pengembaraan spiritualnya ke arah gunung-gunung dalam rangka meraih nirwana. Sedangkan komunitas Muslim (Muslim Timur Tengah maupun Muslim Siam, Cina) menetap di daerah pesisir yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang diberi nama Pasuruan (Memerlukan penelitian lebih lanjut, yang jelas bukan tanggal 8 Pebruari 1686) .
Kedua, kedatangan komunitas priyayi yang menaklukkan Pasuruan pada tahun 1617. Istilah priyayi berasal dari lingkungan keluarga kerajaan Mataram yaitu, poro-yayi, artinya ‘para adik’ yang kemudian budaya priyayi berkembang di kota Pasuruan.
Ciri-ciri priyayi yang paling menonjol adalah pemakaian gelar-gelar bangsawan Jawa. Secara berjenjang gelar-gelar itu dimulai dari; putra raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran; cucu raja bergelar Kanjeng Pangeran Haryo; buyut dalem (cicit) bergelar Bandara Raden Mas Harya; canggah dalem (piut raja) bergelar Raden Mas Panji; dan wareng dalem (oneng-oneng raja) bergelar Raden. (Susuhunan Amangkurat I (1645-1677), Serat Angger-Angger Papangkat, dalam Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874, hal. 459-462).
Ketiga, komunitas abangan. Istilah ini berawal dari zaman Sunan Kalijaga. Islam terbelah mendjadi dua, Islam futi’ah dan Islam aba’ah kemudian menjadi islam-abangan. Kaum ‘abangan’ sebenarnya penghuni awal Pulau Jawa sebelum kedatangan orang India. Sistem kepercayaannya adalah animisme-dinamisme. Walaupun demikian kedatangan mereka di kota Pasuruan secara besar-besaran mejelang G.30.S. PKI 1965.
Jadi budaya itu untuk apa, atau lebih jelasnya meneliti, memahami, mengenli, respek terhadap budaya setempat sebetulya untuk apa?
Jawabnya adalah seperti telah ditegaskan dalam Al’Quran dalam Surat Al Maidah ayat 9 tersebut di atas. Kewajiban kita bukan harus menceburkan diri menjadi satu ke dalam ke anekaragaman, tetapi kata kuncinya adalah ‘agar kita saling megenal’, agar kita tidak berubah muka menajdi sinkretisme budaya yang pada gilirannya menjadi sikretisme agama. Agamamu agamaku, agamaku agamamu. Semua agama sama saja.
Keengganan semua orang terhadap kata budaya disebabkan oleh pertama, pertarungan budaya pada zaman Orde Lama. Seni dipakai sebagai alat propaganda PKI dengan LEKRA-nya. Melalui lakon sandiwara ludruk: Matinya Gusti Alloh, matinya Malaikat, PKI memposisikan ideologinya sebagai musuh agama (Islam). Gayungpun bersambut sampai pada hari ini bahwa segala sesuatu yang ada ning, nong, ning, gong-nya dianggap sebagai musuh agama dan seyogyanya dijauhi. Jangan berharap apabila ada pagelaran wayang di kota Pasuruan penontonnya sampai berjubel-jubel.
Kedua, kita tidak berani beranjak dari pengertian bahwa budaya itu bukan hanya menggarap bidang seni.pertunjukan saja. Padahal budaya itu meliputi segala aspek perilaku manusia dalam menerjemahkan perannya dalam kehidupan lingkungannya. Ketua PP Muhammadiyah Dyn Syamsudin, pernah mencanangkan metode da’wah melalui pendekatan da’wah cultural, tetapi tidak direspon oleh warga Muhammadiyah karena mereka heran dan protes keras:. Wong Muhammadiya kate dikongkon ludrukan ta? (Apakah warga Muhammadiyah disuruh main ludruk?). Salah satu sebab mengapa ketika Amien Rais mencalonkan diri sebagai Presiden banyak warga Muhammadiyah yang tidak memilih, adalah karena Pak Amien membuat langkah blunder. Pak Amien jadi dalang wayang kulit yang disiarkan di salah satu tv swasta. Pak Dien, dan Pak Amien tidak di hawwil (tidak digubris) apalagi saya yang berambut panjang, selalu pakai celana jeans, jangan harap diminta jadi penceramah atau sekedar diberi kesempatan membacakan susunan acara.
Pertanyaan budaya untuk apa, juga melanda komunitas ‘non santri’. Awalnya, budaya dipakai sebagai alat ideology dan nyaris bahwa budaya itu ideology. Kemudian ada reaksi dari kaum ‘santri’ (Islam), dan reaksi itu di reaksi balik oleh komunitas ‘non santri’. Masih segar dalam ingatan kita di zaman Orde Baru sebelum Pak Harto dan Ibu Tien beribadah haji (Orde Baru ada dua jenis: Orde Baru sebelum dan sesudah Pak Harto beribadah Haji), wanita Islam dilarang memakai jilbab. Di sekolah, ibu Dharmawanita, Ibu PKK, PNS maupun –dan apalagi- karyawan swasta. Karir saya macet, gara-gara karena istri saya ndlurung pakai jilbab. Kelas yang berkuasa sebelum Pak Harto ‘masuk islam’ beranggapan bahwa jilbab adalah budaya arab, bukan budaya asli Indonesia.
Nampaknya, kesalah-fahaman terhadap budaya akan terus berlanjut apabila tidak ada usaha-usaha dari para pemuka masyarakat maupun elite politik untuk ‘menyudahi’ pertikaian ini. Bagi kaum Muslimin sudah jelas bahwa Allah menjadikan manusia ini laki-perempuan, bersuku-suku , berabangsa-bangsa agar saling kenal mengenal. Saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, ‘saling’ menganal masing-masing suku, ‘saling’ mengenal bangsa, ‘saling’ mengenal budaya dapat menyelamatkan bumi tetap dalam garis edarnya. ‘Kenali’ mengapa orang Islam itu wajib menjalankan ‘syari’at Islam, mengapa perempuannya mengenakan jilbab sehingga kita akan faham (karena berusaha mengenali) bahwa mereka melakukan hal yang demikian karena perintah agamanya. Mengenal akan menghindarkan kita dari kebencian, dan kebencian akan membuat kita tidak berlaku adil. Akibatnya, kita akan berusaha untuk ‘memusnahkan’ suku tertentu, agama tertentu, bangsa tertentu.
Budaya priyayi, santri, abangan, dan cina adalah bunga-bunga warna-warni yang ada di taman Pasuruan. Syah-syah saja bila seni reog-Ponorogo, wayang, seni-mataraman sering dipentaskan di Kota Pasuruan, tetapi menjadi kurang-ajar jika seni khas kota Pasuruan dipaksa jadi penonton. Mengeleminasi budaya asli sembari memanjakan seni tamu adalah perilaku ‘kolonialis-imperialis budaya’
Budaya untuk apa?
Agar kita saling kenal mengenal, sesudah itu timbul rasa memahami masing-masing komunitas, mengindarkan diri dari rasa kebencian, kemudian akan tergerak hatinuraninya untuk berlaku adil kepada diri sendiri maupun adil kepada orang lain..
Agar kita faham mengapa ada sebuah jalan sempit di atasnya bertuliskan: Turun!!! Dan di bawahnya ada gambar ‘clurit’ yang berlumuran darah, dan sebaliknya ada sebuah gang bertuliskan: Maaf terpaksa Anda menuntun kendaraan Anda, karena banyak anak kecil..
Gambar ‘clurit’ dan tulisan ‘maaf’ sudah cukup bagi sampean untuk bertindak lebih arif dalam menata kembali kesantunan etika agama. Komunitas ‘clurit’ akan menghargai, menghormati, tidak adigang, adigung , adiguna terhadap komunitas ‘maaf’, apalagi komunitas ‘maaf’ lebih berhati-hati terhadap komunitas ‘clurit’. Semoga. Amin!.