Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 April 2011

ALQURAN DAN PENDIDIKAN

الــسّــلام عــلـــيـكـم ورحــمــة الله وبــركـاتـــه

الـحـمـــد لله ربّ الـعـالـمـــيـن الــذى دعـانـا إلى الـتــوحـــيـد, وبــه جـعــل حــيـاتـنـا بـالــســعـــيــد, الــصــلاة والــســلام عـلى مـحــمـد وعـلـى ألــه وأصـحـابـه ومـن تـبـعــه بـإحـــســان إلـى يــوم وعـــيـد, أمــا بـعـــد :

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT

Kesempatan yang sangat baik ini perkenankan saya mengajak hadirin untuk memohon kepada Allah SWT agar  senantiasa diberi kemantapan dan pening- katan iman dan taqwa, karena hanya dengan iman dan taqwa itulah pintu menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akherat. Tidak lupa saya ucapakan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk memberikan ceramah pendidikan pada even yang angat membanggakan ini, karena dengan ini saya dapat memberikan kontribusi dalam upaya menambah pengetahuan bahwa betapa penting dan vitalnya masalah pendidikan ini bagi kita semua, khususnya bagi generasi Muslim mendatang baik dalam konteks kebutuhan individu, agama dan sosial kemasyarakatan untuk mewujudkan izzul Islam wal Muslimin. Tema yang diberikan adalah “ Pendidikan Genarasi Qur’ani  yang Berprestsi, Tonggak Kegemilangan ‘Izzul Islam wal Muslimin “

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT.

Kesan yang muncul dengan tema di atas adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik yang berdasarkan nilai-nilai yang dikandung dalam Al-quran akan menghantarkan pada kejayaan dan kemuliaan bagi Islam dan Umat Islam.

Aspek Normatif

Ada beberapa petunjuk Al-quran maupun al-Hadits, baik secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan ini  bersamaan dengan datangnya dinul Islam. Bahkan dapat dikatkan bahwa semua ayat-ayat al-Quran adalah ayat-ayat pendidikan. Dalam makalah ini hanya diuraikan dalam beberapa hal saja hal sbb. :

1.      Dalam Al-quran ditegaskan bahwa Allah menciptakan  manusia agar menjadikan tujuan akhir dari seluruh aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Aktifitas  dimaksud ditegaskan dalam konteks manusia sebagai khalifah Allah di bumi.  Sebagai khalifah, manusia mendapat tugas untuk memakmurkan bumi  sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan-Nya. Khalifah itu sebagai sebuah amanah dan tugas yang sangat berat, dan tugas ini hanya dapat diaktualisaikan jika manusia dibekali dengan pengetahuan. Semua itu dapat dipenuhi hanya dengan proses pendidikan.

2.      Kesan yang muncul pada ayat al-quran yang pertama turun (al-‘alaq 1-5). Mengapa Iqro’ merupakan perintah Allah yang pertama kepada Nabi SAW padahal  Rasulullah adalah seorang ‘ummi. Hal ini hanya dapat difahami jika Iqro dimaknai bukan hanya sekedar membaca dalam pengertian membunyian huruf, akan tetapi iqro sesuai dengan akar katanya berarti “menghimpun”, juga bermakna menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis. Lalu apa yang dibaca ? Allah tidak menjawab dalam lanjutan ayat tersebut. Hal ini mengisyaratkan Allah menghendaki agar Nabi SAW dan ummatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut “bismi Rabbika”,  dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Bacalah Al-quran, bacalah ilmu pengetahuan, sejarah, tanda-tanda zaman, diri sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis dan segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Semua itu demikian terpadu dapat ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya, dan semua itu hanya dapat diaktualisasikan dalam proses pendidikan.

3.      Allah menetapkan dalam Al-qur’an bahwa derajat yang tinggi, kemuliaan, kejayaan, kehormatan dan segala penghargaan hanya dapat dicapai oleh orang yang beriman dan berilmu

يــرفـع الله الــذيـن أمـــنــوا مـنـكـم والــذيــن أوتــوا الــعـــلــم دىجــات

Allah akan mengangkat (meninggikan) orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajad

Aspek Empiris

Dalam kenyataan sejarah dapat diungkapkan :

1.      22 tahun 2 bulan dan 22 hari lamanya, ayat-ayat Al-quran turun silih berganti. Dan selama itu pula Nabi SAW dan para Sahabatnya tekun membaca dan mengajarkan kepada ummatnya sehingga pada akhirnya mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu iman dan ilmu, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridla dan ampunan Allah SWT. Sebaliknya ketika ummat Islam sudah tidak lagi mengamalkan al-Quran dan tidak memiliki perhatian terhadap ilmu pengetahuan, maka satu persatu kehormatan ummat Islam runtuh,satu persatu wilayah kekuasaannya lepas dan akhirnya di mana-mana ummat Islam Islam terjajah. Terjajah imannya oleh thoghut, terjajah ubudiyahnya dengan praktek-praktek bid’ah dan riya’, terjajah akhlaqnya oleh dajjal, terjajah tanah, ekonomi dan semua sumber kehidupannya oleh kekuatan-kekuatan yang dapat merampas khasanah keilmuan ari ummat Islam.

2.      Kenapa 20 tahun lebih ?

Sebuah penelitian terhadap 40 negara tentang hal-hal yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara-negara tersebut menyebutkan bahwa salah satu faktor utamanya adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya pada generasi muda. Jadi maju mundurnya ummat Islam 20 tahun ke depan terletak pada apa yang dibaca dan disajikan terhadap anak (generasi muda) saat ini. Dengan demikian jangan menunggu dampak bacaan (didikan) anak-anak kita kecuali 20 tahun kemudian

3.      Perintah membaca adalah  sesuatu yang aling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada ummat manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun   peradaban. Semua peradaban yang pernah maju dan bertahan lama pada umumnya diawali dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan “ Illiad “ karya Homer abad ke 9 sebelum masehi dan berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641 – 1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770 – 1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Alquran dan astaghfirullahuntuk menunjuk masa berakhirnya, karena kita yakin bahwa Al-quran tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan selama ummatnya ikut bersama Allah memeliharanya

Penutup

Al-quran sejak dini telah memadukan antara usaha dan pertolongan Allah SWT. Akal dan kalbu, pikir dan dzikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa dzikir akan menjadikan manusia setan, iman tanpa ilmu seperti pelita di tangan bayi sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.

YANG ADA SAAT INI ADALAH HASIL DARI APA YANG KITA BACA 20 TAHUN YANG LALU

20 TAHUN KEMUDIAN MERUPAKAN HASIL DARI APA YANG KITA BERIKAN KEPADA GENERASI SAAT INI

*) Penulis adalah guru Al-Islam di SMA Muhammadiyah 1 Blitar, disajikan  pada acara wisuda bersama SD/MI di bawah binaan   Muhammadiyah

Minggu, 18 April 2010

Perkataan para Imam untuk mencegah Taklid Buta

Mayoritas umat manusia terjebak dalam takliq buta. Itu adalah tipu daya syetan dalam menyesatkan umat manusia. Karena itu Al Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil (nash), dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo). Al Qur'an telah menjelaskan perihal taklid buta ini sebagai berikut:

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (AI-Maa'idah: 104)
Contoh di atas adalah contoh bertaklid kepada nenek moyang, dengan alasan mempertahankan tradisi. Tidak selamanya tradisi-tradisi itu baik, dan tidak semuanya buruk. Tradisi yang perlu dipelihara dan dipertahankan adalah tradisi-tradisi yang benar. Tradisi yang tidak benar, tentunya itu yang ditinggalkan. Bahkan sejatinya, kalau memang ingin mempertahankan tradisi leluhur, semestinya ikutilah tradisi yang diwariskan oleh leluhur manusia pertama, yaitu Adam AS. Beliau adalah nenek moyang seluruh manusia, nenek moyang dari nenek moyang kita sendiri, leluhur dari leluhur manapun yang disanjung-sanjung. Tradisi Adam AS sudah barang tentu merupakan tuntunan dari Allah SWT, yaitu yang berupa (Al Islam) yang terus diwarisi hingga kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada kita sebagai umat Rasulullah SAW.

Selain taklid kepada 'tradisi-tradisi karangan manusia', ada pula taklid yang berupa taklid buta kepada ulama, syekh, atau pemimpin-pemimpin yang dipuja-puja. Taklid ini begitu memuliakan para pemimpin pujaannya hingga melebihi batas-batas fitrahnya. Bahkan secara kasar maupun halus mereka meninggikan para imam mereka itu lebih tinggi dari dalil-dalil yang berasal dari Allah dan RasulNya.

Seorang pujangga pernah melantunkan syair kepada orang-orang yang bertaklid kepada imam mereka sebagai berikut:

"Aku katakan padamu,

bahwasannya Allah berfirman demikian,

RasulNya bersabda demikian,

namun lalu kamu menjawab,

'Syaikh saya telah berkata ....'"

Mayoritas umat manusia terjebak dalam takliq buta. Itu adalah tipu daya syetan dalam menyesatkan umat manusia. Karena itu Al Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil (nash), dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo). Al Qur'an telah menjelaskan perihal taklid buta ini sebagai berikut:

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (AI-Maa'idah: 104)

Contoh di atas adalah contoh bertaklid kepada nenek moyang, dengan alasan mempertahankan tradisi. Tidak selamanya tradisi-tradisi itu baik, dan tidak semuanya buruk. Tradisi yang perlu dipelihara dan dipertahankan adalah tradisi-tradisi yang benar. Tradisi yang tidak benar, tentunya itu yang ditinggalkan. Bahkan sejatinya, kalau memang ingin mempertahankan tradisi leluhur, semestinya ikutilah tradisi yang diwariskan oleh leluhur manusia pertama, yaitu Adam AS. Beliau adalah nenek moyang seluruh manusia, nenek moyang dari nenek moyang kita sendiri, leluhur dari leluhur manapun yang disanjung-sanjung. Tradisi Adam AS sudah barang tentu merupakan tuntunan dari Allah SWT, yaitu yang berupa (Al Islam) yang terus diwarisi hingga kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada kita sebagai umat Rasulullah SAW.

Selain taklid kepada 'tradisi-tradisi karangan manusia', ada pula taklid yang berupa taklid buta kepada ulama, syekh, atau pemimpin-pemimpin yang dipuja-puja. Taklid ini begitu memuliakan para pemimpin pujaannya hingga melebihi batas-batas fitrahnya. Bahkan secara kasar maupun halus mereka meninggikan para imam mereka itu lebih tinggi dari dalil-dalil yang berasal dari Allah dan RasulNya.

Seorang pujangga pernah melantunkan syair kepada orang-orang yang bertaklid kepada imam mereka sebagai berikut:

"Aku katakan padamu,

bahwasannya Allah berfirman demikian,

RasulNya bersabda demikian,

namun lalu kamu menjawab,

'Syaikh saya telah berkata ....'"

Kita lihatlah sekitar kita sekarang ini. Begitu banyak perkataan orang yang berdasarkan "kata imam saya...", "menurut syekh saya.....","raja saya berkata....", "guru besar saya telah bersabda....", dan lain sebagainya, yang sebetulnya hal-hal demikian tidak dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para Imam yang Empat (Imam Hambali, Imam Syafii, Iman Hanifah, dan Iman Malik) sesungguhnya menyuruh orang-orang untuk mengembalikan segala hal kepada dalil yang benar (Al Qur'an dan As Sunnah). Dengan kata lain, para imam sesungguhnya juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.

Berikut perkataan mereka:

Imam Abu Hanifah rahimahullah

Beliau mengatakan,
“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.”

Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan,
“Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”

Imam Malik bin Anas rahimahullah

“Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku.
Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah.
Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/32).

“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/91).

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

“Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.”
(Al-Majmu’ 1/63).

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).

Kita lihatlah sekitar kita sekarang ini. Begitu banyak perkataan orang yang berdasarkan "kata imam saya...", "menurut syekh saya.....","raja saya berkata....", "guru besar saya telah bersabda....", dan lain sebagainya, yang sebetulnya hal-hal demikian tidak dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para Imam yang Empat (Imam Hambali, Imam Syafii, Iman Hanifah, dan Iman Malik) sesungguhnya menyuruh orang-orang untuk mengembalikan segala hal kepada dalil yang benar (Al Qur'an dan As Sunnah). Dengan kata lain, para imam sesungguhnya juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.

Senin, 18 April 2005

Keyakinan Serta Cita-cita Hidup Muhammadiyah

1.  Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.

3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.

4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:

a. 'Aqidah

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

b. Akhlak

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia

c. Ibadah

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

d. Muamalah Duniawiyah

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.

5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"

(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)

Catatan:
Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah:

1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta;
2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.

Jumat, 18 April 2003

BUDAYA UNTUK APA?

Jika orang ditanya; apakah budaya itu? Sebagian oang menjawab ludruk, wayang, reog, tandak, tari pendet. Sebagian lagi (kaum intelek) menjawab bahwa budaya itu adalah ‘kebiasaan’ yang meliputi kebiasaan ekonomi, politik, sistem kepercayaan, sistem matapencaharian, bahasa dan seni dalam lingkungan masyarakatnya.

Tetapi ketika ditanya untuk apa budaya itu, semua orang terdiam.

Memang budaya itu bukan sebuah alat. Tetapi jika dengan sedikit mengkaji, mengidentifikasi budaya yang hidup di lingkungan masyarakat maka akan diperoleh manfaatnya. Konflik-konflik yang terjadi di banyak daerah karena lebih disebabkan oleh seringnya kita mengabaikan fakta budaya setempat. Contoh, konflik berdarah di Sampit Kalimantan.

Pasuruan adalah kota multi kultural, artinya, di kota ini terdapat banyak adat kebiasaan, sistem nilai, norma yang satu sama lain berbeda-beda. Secara garis besar budaya Pasuruan itu saya bagi –meminjam trikhotominya Clifford Geertz-  budaya santri, priyayi, abangan, dan Cina. Banyak orang yang tidak sepakat dengan kategorisasi ini. Memang dalam tataran manifest (lahir) kategorisasi budaya di Pasuruan batas-batasnya telah ambruk. Dalam mengkonsumsi makanan misalnya, kaum santri suka sekali makan cap cay, koloke, bihun goreng, fuyung hay, bak pao. Dengan catatan yang dimakan itu tidak diharamkan dalam agama (baca:Islam).

Orang Cina Pasuruan (sekarang) maupun komunitas priyayi (juga sekarang) amat suka melahap makanan ke- arab-araban (santri) yang di masa yang lalu amat dibencinya seperti; sate kambing, gule kacang ijo, dhobi, maraq, kebuli, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam hal cara berpakaian, hubungan intrapersonal, apalagi hubungan bisnis sudah tidak ada batas lagi.Tetapi dalam tingkat sistem nilai budaya terdapat perbedaan.

Plural adalah kenyataan perbedaan yang ada di masyarakat, dan kewajiban yang diperintahkan Allah kepada kita adalah untuk saling kenal mengenal. Sedangkan pluralisme adalah faham ideologi yang menafikan perbedaan. Semua agama sama saja, agamamu agamaku, agamaku agamamu.

Perbedaan bukanlah laknat.

Inna kholaqnakum min dzakarin wa untsa wa jaalnakum syu’uban wa qobailan li ta’arofu (Al Qur’an: Al Maidah:9).

Perjalanan budaya di kota Pasuruan sama panjangnya dengan kehadiran manusia itu sendiri. Periodeisasi morfologi budaya Pasuruan berurutan mulai dari pertama, kedatangan tiga agama; Hindu, Budha, dan Islam pada abad ke-9. Setelah berlabuh di Tanjung Tembikar (muara sungai Kraton Pasuruan), komunitas Hindhu dan Budha melanjutkan pengembaraan spiritualnya ke arah gunung-gunung dalam rangka meraih nirwana. Sedangkan komunitas Muslim (Muslim Timur Tengah maupun Muslim Siam, Cina) menetap di daerah pesisir yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang diberi nama Pasuruan (Memerlukan penelitian lebih lanjut, yang jelas bukan tanggal 8 Pebruari 1686) .

Kedua, kedatangan komunitas priyayi yang menaklukkan Pasuruan pada tahun 1617. Istilah priyayi berasal dari lingkungan keluarga kerajaan Mataram yaitu, poro-yayi, artinya ‘para adik’ yang kemudian budaya priyayi berkembang di kota Pasuruan.

Ciri-ciri priyayi yang paling menonjol adalah pemakaian gelar-gelar bangsawan Jawa. Secara berjenjang gelar-gelar itu dimulai dari; putra raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran; cucu raja bergelar Kanjeng Pangeran Haryo; buyut dalem (cicit) bergelar Bandara Raden Mas Harya; canggah dalem (piut raja) bergelar Raden Mas Panji; dan wareng dalem (oneng-oneng raja) bergelar Raden. (Susuhunan Amangkurat I (1645-1677), Serat Angger-Angger Papangkat, dalam Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874, hal. 459-462).

Ketiga, komunitas abangan. Istilah ini berawal dari zaman Sunan Kalijaga. Islam terbelah mendjadi dua, Islam futi’ah dan Islam aba’ah kemudian menjadi islam-abangan. Kaum ‘abangan’ sebenarnya penghuni awal Pulau Jawa sebelum kedatangan orang India. Sistem kepercayaannya adalah animisme-dinamisme. Walaupun demikian kedatangan mereka di kota Pasuruan secara besar-besaran mejelang G.30.S. PKI 1965.

Jadi budaya itu untuk apa, atau lebih jelasnya meneliti, memahami, mengenli, respek terhadap budaya setempat sebetulya untuk apa?

Jawabnya adalah seperti telah ditegaskan dalam Al’Quran dalam Surat Al Maidah ayat 9 tersebut di atas. Kewajiban kita bukan harus menceburkan diri menjadi satu ke dalam ke anekaragaman, tetapi kata kuncinya adalah ‘agar kita saling megenal’, agar kita tidak berubah muka menajdi sinkretisme budaya yang pada gilirannya menjadi sikretisme agama. Agamamu agamaku, agamaku agamamu. Semua agama sama saja.

Keengganan semua orang terhadap kata budaya disebabkan oleh pertama, pertarungan budaya pada zaman Orde Lama. Seni dipakai sebagai alat propaganda PKI dengan LEKRA-nya. Melalui lakon sandiwara ludruk: Matinya Gusti Alloh, matinya Malaikat, PKI memposisikan ideologinya sebagai musuh agama (Islam). Gayungpun bersambut sampai pada hari ini bahwa segala sesuatu yang ada ning, nong, ning, gong-nya dianggap sebagai musuh agama dan seyogyanya dijauhi. Jangan berharap apabila ada pagelaran wayang di kota Pasuruan penontonnya sampai berjubel-jubel.

Kedua, kita tidak berani beranjak dari pengertian bahwa budaya itu bukan hanya menggarap bidang seni.pertunjukan saja. Padahal budaya itu meliputi segala aspek perilaku manusia dalam menerjemahkan perannya dalam kehidupan lingkungannya. Ketua PP Muhammadiyah Dyn Syamsudin, pernah mencanangkan metode da’wah melalui pendekatan da’wah cultural, tetapi tidak direspon oleh warga Muhammadiyah karena mereka heran dan protes keras:. Wong Muhammadiya kate dikongkon ludrukan ta? (Apakah warga Muhammadiyah disuruh main ludruk?). Salah satu sebab mengapa ketika Amien Rais mencalonkan diri sebagai Presiden banyak warga Muhammadiyah yang tidak memilih, adalah karena Pak Amien membuat langkah blunder. Pak Amien jadi dalang wayang kulit yang disiarkan di salah satu tv swasta. Pak Dien, dan Pak Amien tidak di hawwil (tidak digubris) apalagi saya yang berambut panjang, selalu pakai celana jeans, jangan harap diminta jadi penceramah atau sekedar diberi kesempatan membacakan susunan acara.

Pertanyaan budaya untuk apa, juga melanda komunitas ‘non santri’. Awalnya, budaya dipakai sebagai alat ideology dan nyaris bahwa budaya itu ideology. Kemudian ada reaksi dari kaum ‘santri’ (Islam), dan reaksi itu di reaksi balik oleh komunitas ‘non santri’. Masih segar dalam ingatan kita di zaman Orde Baru sebelum Pak Harto dan Ibu Tien beribadah haji (Orde Baru ada dua jenis: Orde Baru sebelum dan sesudah Pak Harto beribadah Haji), wanita Islam dilarang memakai jilbab. Di sekolah, ibu Dharmawanita, Ibu PKK, PNS maupun –dan apalagi- karyawan swasta. Karir saya macet, gara-gara karena istri saya ndlurung pakai jilbab. Kelas yang berkuasa sebelum Pak Harto ‘masuk islam’ beranggapan bahwa jilbab adalah budaya arab, bukan budaya asli Indonesia.

Nampaknya, kesalah-fahaman terhadap budaya akan terus berlanjut apabila tidak ada usaha-usaha dari para pemuka masyarakat maupun elite politik untuk ‘menyudahi’ pertikaian ini. Bagi kaum Muslimin sudah jelas bahwa Allah menjadikan manusia ini laki-perempuan, bersuku-suku , berabangsa-bangsa agar saling kenal mengenal. Saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, ‘saling’ menganal masing-masing suku, ‘saling’ mengenal bangsa, ‘saling’ mengenal budaya dapat menyelamatkan bumi tetap dalam garis edarnya. ‘Kenali’ mengapa orang Islam itu wajib menjalankan ‘syari’at Islam, mengapa perempuannya mengenakan jilbab sehingga kita akan faham (karena berusaha mengenali) bahwa mereka melakukan hal yang demikian karena perintah agamanya. Mengenal akan menghindarkan kita dari kebencian, dan kebencian akan membuat kita tidak berlaku adil. Akibatnya, kita akan berusaha untuk ‘memusnahkan’ suku tertentu, agama tertentu, bangsa tertentu.

Budaya priyayi, santri, abangan, dan cina adalah bunga-bunga warna-warni yang ada di taman Pasuruan. Syah-syah saja bila seni reog-Ponorogo, wayang, seni-mataraman sering dipentaskan di Kota Pasuruan, tetapi menjadi kurang-ajar jika seni khas kota Pasuruan dipaksa jadi penonton. Mengeleminasi budaya asli sembari memanjakan seni tamu adalah perilaku ‘kolonialis-imperialis budaya’

Budaya untuk apa?

Agar kita saling kenal mengenal, sesudah itu timbul rasa memahami masing-masing komunitas, mengindarkan diri dari rasa kebencian, kemudian akan tergerak hatinuraninya untuk berlaku adil kepada diri sendiri maupun adil kepada orang lain..

Agar kita faham mengapa ada sebuah jalan sempit di atasnya bertuliskan: Turun!!! Dan di bawahnya ada gambar ‘clurit’ yang berlumuran darah, dan sebaliknya ada sebuah gang bertuliskan: Maaf terpaksa Anda menuntun kendaraan Anda, karena banyak anak kecil..

Gambar ‘clurit’ dan tulisan ‘maaf’ sudah cukup bagi sampean untuk bertindak lebih arif dalam menata kembali kesantunan etika agama. Komunitas ‘clurit’ akan menghargai, menghormati, tidak adigang, adigung , adiguna terhadap komunitas ‘maaf’, apalagi komunitas ‘maaf’ lebih berhati-hati terhadap komunitas ‘clurit’. Semoga. Amin!.

Rabu, 18 April 2001

Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).

Mengapa kita memerlukan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah?

1. Kepentingan akan adanya pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992 yang lebih merupakan konsep filosofis.

2. Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu.

3. Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai-guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21.

4. Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serba melintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses hubungan-hubungan sosialekonomi- politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.

5. Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari Muhammadiyah sendiri.

 

Untuk siapakah Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini?

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah menjadi pedoman bagi seluruh warga Muhammadiyah, termasuk para pimpinan, anggota pengurus, pimpinan dan karyawan amal usaha, pimpinan sekolah, guru-guru, penjaga sekolah, satuan keamanan,  dan tidak terkecuali pula yaitu para pimpinan dan seluruh anggota ortom-ortom. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini juga bisa diikuti oleh para simpatisan dan dapat dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan apa itu sesungguhnya Muhammadiyah. Berikanlah buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini kepada tetangga, teman sejawat, dan relasi anda. Dengan begitu, mudah-mudahan mereka akan mengenal apa itu Muhammadiyah, bagaimana perilaku kehidupan Islami yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah. Karena tak bisa kita pungkiri, beberapa orang yang mengaku warga Muhammadiyah justru tindak-tanduknya, ucapannya, sudah sangat jauh dengan apa yang sudah Islam ajarkan. Tentunya hal ini membuat malu persyarikatan. Bahkan tidak itu saja, namun juga membuat malu bangsa, membuat malu agama Islam. Bisa jadi orang tersebut memang bermuhammadiyah sekedar hanya mencari kedudukan atau jabatan di pimpinan pusat, di pimpinan wilayah, di pimpinan daerah, di pimpinan cabang, di pimpinan ranting, di ortom-ortom, dan lain sebagainya. Atau bisa jadi pula mereka sekedar hanya mencari peruntungan nasib di sekolah-sekolah Muhammadiyah,  di rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah, di kampus-kampus Muhammadiyah, di pantii asuhan-panti asuhan Muhammadiyah, atau di amal usaha Muhammadiyah lainnya. Mereka mencari penghidupan di Muhammadiyah, tetapi bukan menjaga dan mengukuhkan nilai-nilai Muhammadiyah namun justru menghancurkannya. Na'udzubillahi min dzalika.

Rabu, 18 April 1990

Kewajiban Demi Patuh dan Taat

Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan adalah "kiat" yang dipakai oleh Al Islam untuk membawa umat manusia kepada status kemerdekaan yang hakiki (yaitu bertauhid hanya kepada Allah semata). Bukankah dahulu para pejuang kemerdekaan senantiasa menganjurkan persatuan dan kesatuan demi melawan tirani penjajahan? Bukankah 'devide et impera' (memecah belah, lalu menguasai) adalah semboyan para penjajah yang hendak merampas kemerdekaan kita?



Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan adalah "kiat" yang dipakai oleh Al Islam untuk membawa umat manusia kepada status kemerdekaan yang hakiki (yaitu bertauhid hanya kepada Allah semata). Bukankah dahulu para pejuang kemerdekaan senantiasa menganjurkan persatuan dan kesatuan demi melawan tirani penjajahan? Bukankah 'devide et impera' (memecah belah, lalu menguasai) adalah semboyan para penjajah yang hendak merampas kemerdekaan kita?


“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah,

dan janganlah kamu sekalian berpecah belah,

dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua

(yaitu) ketika kamu bermusuh-musuhan,

maka Dia (Allah) melunakkan antara hati-hati kamu

maka kamu menjadi bersaudara,

sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”
(Q.S. Ali Imron ayat 103)

Berbagai cara manusia dilakukan untuk menjalin tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Pada mulanya mereka mencari apa yang sama diantara mereka. Mereka mencari kesamaan/persamaan, dalam rangka untuk menjalin 'persatuan' itu. Maka mereka berkumpul dengan sesama sukunya, sesama warna kulitnya, sesama keturunan dan silsilahnya. Namun kemudian manusia menemukan kesimpulan bahwa persatuan dan kesatuan bukanlah dijalin karena memiliki kesamaan-kesamaan itu semata. Mereka berpikir bahwa 'persatuan dan kesatuan' itu ternyata akan tumbuh sejati bukan saja di atas dasar 'kesamaan', namun juga di atas dasar 'perbedaan', baik perbedaan suku, bangsa, warna kulit, maupun keturunan. Manusia akhirnya memahami bahwa hakikat dari sebuah persatuan dan kesatuan, bukanlah lagi terletak karena kesamaan material, namun lebih kepada karena kesamaan untuk patuh dan taat pada "tali" yang sama, pada aturan yang sama, tidak peduli apakah mereka berasal dari suku yang sama, warna kulit yang sama, keturunan yang sama.

Lihatlah di sekeliling kita, persatuan dan kesatuan sejati dibentuk karena kepatuhan dan ketaatan pada peraturan yang sama, pada ikatan yang sama, pada undang-undang yang sama, pada perintah yang sama.

Firman Allah SWT  pada Surat Ali Imron ayat 103, dapat menggambarkan dengan cukup jelas, bahwa persatuan itu terlahir karena adanya keinginan untuk berpegang teguh pada tali yang sama, yaitu Tali Allah. 'Berpegang teguh' ini maksudnya adalah patuh dan taat kepada apa yang digariskan oleh Allah, patuh dan taat kepada aturan dan undang-undang Allah.

Selanjutnya, marilah kita perhatikan ayat berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman,

ta`atilah Allah,

dan ta`atilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Yang demikian itu lebih utama (bagimu)

dan lebih baik akibatnya .
(QS. An-Nisa: 59)

Ayat di atas memperkuat keyakinan kita bahwa pesatuan dan kesatuan umat Islam dimanapun berada, terjalin karena mereka patuh dan taat mengikuti Allah dan RasulNya. Ketika Rasulullah sudah wafat, maka mereka mengikuti pemimpin-pemimpin mereka sepanjang pemimpin-pemimpin itu juga taat mengikuti Allah dan RasulNya. Jika kemudian mereka berlainan pendapat tentang sesuatu, maka mereka merujuk kembali kepada sumber hukum, kepada tali/akidah Allah itu, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.

Demikianlah, maka dapat kita pahami bahwa ketaatan kepada peraturan dan kepada pemimpin, sejatinya karena itulah yang menjadi modal dasar utama dalam persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa "Barang siapa yang ingin mempersatukan, maka ia akan taat. Namun barang siapa yang ingin memecah belah, maka ia berkhianat."

Definisi Taat

Secara bahasa artinya mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan secara syari’ah ialah beramal melaksanakan perintah disertai niat dan keyakinan. Berkata Al-Qurtubi: ”Hakekat taat adalah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan. Dan lawannya ma’shiyah artinya menyimpang dari perintah". Sedangkan Hasan Al-Banna berkata: ”Yang saya kehendaki dari ketaatan ialah melaksanakan perintah dan merealisasikannya secara sepontan baik dalam kondisi susah atau mudah, dalam kondisi bergairah atau tidak”.

Demikianlah definisi dari taat. Selanjutnya, marilah kita menghayati sabda Rasulullah di bawah ini:

"Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda:” Dengar dan taatlah kalian walaupun dipimpin oleh seorang budak Habsyi dan kepalanya seperti buah anggur kering” (HR Bukhari)"

Dengan begitu maka patuh dan taat kepada pimpinan adalah merupakan kewajiban sekalipun pimpinan kita itu tidak berasal dari suku bangsa yang sama dengan suku kita, tidak memiliki status sosial ataupun ekonomi yang sama dengan status sosial dan ekonomi kita, sekalipun ia memiliki warna kulit yang berbeda. Sepanjang aturan dan perintahnya itu bukan menyimpang dari aturan dan perintah Allah dan RasulNya, maka kita wajb mengikuti kebenaran dari siapapun asalnya.

Batasan Patuh dan Taat

Ketika Islam mewajibkan umat Islam untuk mentaati para pemimpin, Islam juga memberi batasan tentang ketaatan tersebut dan tidak membiarkanya berlaku mutlak tanpa ada batasan. Oleh karenanya ketaatan terhadap pemimpin dibatasai oleh ruang lingkup tertentu dan syarat-syarat tertentu yang harus ditunaikan. Dan diantaran batasan tersebut adalah:

Artinya: Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda:” Atas setiap muslim harus mendengar dan taat terhadap sesuatu yang ia cintai atau benci, kecuali jika diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah bermaksiat maka tidak ada mendengar dan taat”(Muttafaqun alaihi)

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah)”(HR Ahmad dan Al-Hakim)

“Sesungguhnya ketaatan hanya pada sesuatu yang baik” (HR Bukhari).

Lalu bagaimana landasan dari taat kepada pemimpin?
Rasulullah saw bersabda:

Dari Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah bin Yazid Aj-Ja’fi bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah bagaimana pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan tidak melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya, tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan taatilah (pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung beban tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan bertanggung-jawab terhadap yang kamu perbuat“ (HR Muslim)

Yang sering menjadi malapetaka bagi umat adalah apabila pemimpin memaksakan pengikutnya untuk patuh dan taat kepada kemauannya, sementara mereka yang dipimpin pun mengikuti kemauan para pemimpin dengan seksama, tanpa mengembalikannya kepada apa yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya. Islam sangat memerangi taklid buta kepada pemimpin. Sebagai muslim, kita meyakini bahwa  kelak mata, telinga dan hati akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38). Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas terhadap para pemimpin. Apakah benar apa yang disampaikan pemimpin/ulama tersebut adalah bagian dari agama atau bukan? Apakah Allah dan RasulNya menuntunkan hal demikian, atau tidak. Marilah kita bercermin dari ayat berikut ini. "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Firman tersebut memberi bukti bahwa memang adadi dunia ini jenis pemimpin, pembesar, orang yang kita tuakan, orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, bahkan orang yang kita sebut dengan guru, orang yang kita kira tinggi ilmunya, kyai, atau apapun, yang memang menyesatkan pengikutnya dari jalan yang benar.

Selain itu, malapetaka besar yang sering terjadi pula yaitu dimana para pemimpin tidak memenuhi apa yang diamanahkan kepadanya. Perhatikanlah ayat berikut ini:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya .(QS. An-Nisa: 58-59)

Demikianlah. Semoga paparan ini dapat memberi hikmah kepada kita semua. Al Islam telah memberi tuntunan, bahwa siapapun itu; pemimpin maupun yang dipimpin, sama-sama wajib untuk patuh dan taat kepada apa-apa yang telah dituntunkan oleh Allah dan RasulNya. Kesemuanya memiliki kewajiban yang sama. Perbedaannya terletak pada besar/kecilnya tanggung jawab dan amanah. Pemimpin tentu memiliki tanggung jawab dan amanah yang lebih besar. Asas kepatuhan dan ketaatan ini juga memberi hikmah berupa perdamaian, persatuan dan kesatuan umat. Maka berpegang teguh pada persatuan, tidak memecah belah, tidak mengadu domba, juga merupakan kewajiban para pemimpin dan yang dipimpin. Siapapun dari kita, baik pemimpin ataupun yang dipimpin, akan menanggung beban tanggung jawab masing-masing dihadapan Allah SWT. Wallahua'lam bishawab.

Senin, 18 Desember 1989

PEGANGAN KEHIDUPAN ISLAMI WARGA MUHAMMADIYAH

Bagian Pertama


PENDAHULUAN

A. PEMAHAMAN

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).

B. LANDASAN DAN SUMBER

Landasan dan sumber Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ialah Al- Quran dan Sunnah Nabi yang merupakan pengembangan dan pengayaan dari pemikiran-pemikiran formal (baku) dalam Muhammadiyah seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, serta hasil-hasil Keputusan Majelis Tarjih.

C. KEPENTINGAN

1.      Warga Muhammadiyah dewasa ini makin memerlukan pedoman kehidupan yang bersifat panduan dan pengayaan dalam menjalani berbagai kegiatan sehari-hari. Tuntutan ini didasarkan atas perkembangan situasi dan kondisi antara lain:

2.      Kepentingan akan adanya pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992 yang lebih merupakan konsep filosofis.

3.      Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu.

4.      Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai-guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21.

5.      Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serba melintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses hubungan-hubungan sosialekonomi- politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.

6.      Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari Muhammadiyah sendiri.

D. SIFAT

1.      Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah memiliki beberapa sifat/kriteria sebagai berikut:

2.      Mengandung hal-hal yang pokok/prinsip dan penting dalam bentuk acuannilai dan norma.

3.      Bersifat pengayaan dalam arti memberi banyak khazanah untuk membentuk keluhuran dan kemulian ruhani dan tindakan.

4.      Aktual, yakni memiliki keterkaitan dengan tuntutan dan kepentingan kehidupan sehari-hari.

5.      Memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif yang bersifat keteladanan.

6.      Ideal, yakni dapat menjadi panduan umum untuk kehidupan sehari-hari yang bersifat pokok dan utama.

7.      Rabbani, artinya mengandung ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang bersifat akhlaqi yang membuahkan kesalihan.

8.      Taisir, yakni panduan yang mudah difahami dan diamalkan oleh setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah.

E. TUJUAN

Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

F. KERANGKA

Materi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dikembangkan dan dirumuskan dalam kerangka sistematika sebagai berikut:

1.      Bagian Umum : Pendahuluan

2.      Bagian Kedua : Islam dan Kehidupan

3.      Bagian Ketiga : Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah

a.      Kehidupan Pribadi

b.      Kehidupan dalam Keluarga

c.       Kehidupan Bermasyarakat

d.      Kehidupan Berorganisasi

e.      Kehidupan dalam Mengelola Amal usaha

f.        Kehidupan dalam Berbisnis

g.      Kehidupan dalam Mengembangkan Profesi

h.      Kehidupan dalam Berbangsa dan Bemegara

i.        Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan

j.        Kehidupan dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

k.       Kehidupan dalam Seni dan Budaya

4. Bagian Keempat : Tuntunan Pelaksanaan

5. Bagian Kelima : Penutup