Tampilkan postingan dengan label dapat menggambarkan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dapat menggambarkan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 April 1990

Kewajiban Demi Patuh dan Taat

Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan adalah "kiat" yang dipakai oleh Al Islam untuk membawa umat manusia kepada status kemerdekaan yang hakiki (yaitu bertauhid hanya kepada Allah semata). Bukankah dahulu para pejuang kemerdekaan senantiasa menganjurkan persatuan dan kesatuan demi melawan tirani penjajahan? Bukankah 'devide et impera' (memecah belah, lalu menguasai) adalah semboyan para penjajah yang hendak merampas kemerdekaan kita?



Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah perintah untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan adalah "kiat" yang dipakai oleh Al Islam untuk membawa umat manusia kepada status kemerdekaan yang hakiki (yaitu bertauhid hanya kepada Allah semata). Bukankah dahulu para pejuang kemerdekaan senantiasa menganjurkan persatuan dan kesatuan demi melawan tirani penjajahan? Bukankah 'devide et impera' (memecah belah, lalu menguasai) adalah semboyan para penjajah yang hendak merampas kemerdekaan kita?


“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah,

dan janganlah kamu sekalian berpecah belah,

dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua

(yaitu) ketika kamu bermusuh-musuhan,

maka Dia (Allah) melunakkan antara hati-hati kamu

maka kamu menjadi bersaudara,

sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”
(Q.S. Ali Imron ayat 103)

Berbagai cara manusia dilakukan untuk menjalin tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Pada mulanya mereka mencari apa yang sama diantara mereka. Mereka mencari kesamaan/persamaan, dalam rangka untuk menjalin 'persatuan' itu. Maka mereka berkumpul dengan sesama sukunya, sesama warna kulitnya, sesama keturunan dan silsilahnya. Namun kemudian manusia menemukan kesimpulan bahwa persatuan dan kesatuan bukanlah dijalin karena memiliki kesamaan-kesamaan itu semata. Mereka berpikir bahwa 'persatuan dan kesatuan' itu ternyata akan tumbuh sejati bukan saja di atas dasar 'kesamaan', namun juga di atas dasar 'perbedaan', baik perbedaan suku, bangsa, warna kulit, maupun keturunan. Manusia akhirnya memahami bahwa hakikat dari sebuah persatuan dan kesatuan, bukanlah lagi terletak karena kesamaan material, namun lebih kepada karena kesamaan untuk patuh dan taat pada "tali" yang sama, pada aturan yang sama, tidak peduli apakah mereka berasal dari suku yang sama, warna kulit yang sama, keturunan yang sama.

Lihatlah di sekeliling kita, persatuan dan kesatuan sejati dibentuk karena kepatuhan dan ketaatan pada peraturan yang sama, pada ikatan yang sama, pada undang-undang yang sama, pada perintah yang sama.

Firman Allah SWT  pada Surat Ali Imron ayat 103, dapat menggambarkan dengan cukup jelas, bahwa persatuan itu terlahir karena adanya keinginan untuk berpegang teguh pada tali yang sama, yaitu Tali Allah. 'Berpegang teguh' ini maksudnya adalah patuh dan taat kepada apa yang digariskan oleh Allah, patuh dan taat kepada aturan dan undang-undang Allah.

Selanjutnya, marilah kita perhatikan ayat berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman,

ta`atilah Allah,

dan ta`atilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu.

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Yang demikian itu lebih utama (bagimu)

dan lebih baik akibatnya .
(QS. An-Nisa: 59)

Ayat di atas memperkuat keyakinan kita bahwa pesatuan dan kesatuan umat Islam dimanapun berada, terjalin karena mereka patuh dan taat mengikuti Allah dan RasulNya. Ketika Rasulullah sudah wafat, maka mereka mengikuti pemimpin-pemimpin mereka sepanjang pemimpin-pemimpin itu juga taat mengikuti Allah dan RasulNya. Jika kemudian mereka berlainan pendapat tentang sesuatu, maka mereka merujuk kembali kepada sumber hukum, kepada tali/akidah Allah itu, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.

Demikianlah, maka dapat kita pahami bahwa ketaatan kepada peraturan dan kepada pemimpin, sejatinya karena itulah yang menjadi modal dasar utama dalam persatuan dan kesatuan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa "Barang siapa yang ingin mempersatukan, maka ia akan taat. Namun barang siapa yang ingin memecah belah, maka ia berkhianat."

Definisi Taat

Secara bahasa artinya mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Sedangkan secara syari’ah ialah beramal melaksanakan perintah disertai niat dan keyakinan. Berkata Al-Qurtubi: ”Hakekat taat adalah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan. Dan lawannya ma’shiyah artinya menyimpang dari perintah". Sedangkan Hasan Al-Banna berkata: ”Yang saya kehendaki dari ketaatan ialah melaksanakan perintah dan merealisasikannya secara sepontan baik dalam kondisi susah atau mudah, dalam kondisi bergairah atau tidak”.

Demikianlah definisi dari taat. Selanjutnya, marilah kita menghayati sabda Rasulullah di bawah ini:

"Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda:” Dengar dan taatlah kalian walaupun dipimpin oleh seorang budak Habsyi dan kepalanya seperti buah anggur kering” (HR Bukhari)"

Dengan begitu maka patuh dan taat kepada pimpinan adalah merupakan kewajiban sekalipun pimpinan kita itu tidak berasal dari suku bangsa yang sama dengan suku kita, tidak memiliki status sosial ataupun ekonomi yang sama dengan status sosial dan ekonomi kita, sekalipun ia memiliki warna kulit yang berbeda. Sepanjang aturan dan perintahnya itu bukan menyimpang dari aturan dan perintah Allah dan RasulNya, maka kita wajb mengikuti kebenaran dari siapapun asalnya.

Batasan Patuh dan Taat

Ketika Islam mewajibkan umat Islam untuk mentaati para pemimpin, Islam juga memberi batasan tentang ketaatan tersebut dan tidak membiarkanya berlaku mutlak tanpa ada batasan. Oleh karenanya ketaatan terhadap pemimpin dibatasai oleh ruang lingkup tertentu dan syarat-syarat tertentu yang harus ditunaikan. Dan diantaran batasan tersebut adalah:

Artinya: Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW bersabda:” Atas setiap muslim harus mendengar dan taat terhadap sesuatu yang ia cintai atau benci, kecuali jika diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah bermaksiat maka tidak ada mendengar dan taat”(Muttafaqun alaihi)

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah)”(HR Ahmad dan Al-Hakim)

“Sesungguhnya ketaatan hanya pada sesuatu yang baik” (HR Bukhari).

Lalu bagaimana landasan dari taat kepada pemimpin?
Rasulullah saw bersabda:

Dari Abu Hunaidah Wa’il bin Hajar ra berkata: Salamah bin Yazid Aj-Ja’fi bertanya pada Rasulullah saw dan berkata:” Wahai nabi Allah bagaimana pendapatmu jika pemimpin kami meminta kepada kami hak mereka dan tidak melaksanakan haknya (kewajibannya)?”. Rasulullah saw berpaling darinya, tetapi ia bertanya lagi, maka Rasulullah saw menjawab:” dengar dan taatilah (pemimpin tersebut) karena sesungguhnya mereka akan menanggung beban tanggung-jawab yang harus dilaksanakannya dan kamu juga akan bertanggung-jawab terhadap yang kamu perbuat“ (HR Muslim)

Yang sering menjadi malapetaka bagi umat adalah apabila pemimpin memaksakan pengikutnya untuk patuh dan taat kepada kemauannya, sementara mereka yang dipimpin pun mengikuti kemauan para pemimpin dengan seksama, tanpa mengembalikannya kepada apa yang dituntunkan oleh Allah dan RasulNya. Islam sangat memerangi taklid buta kepada pemimpin. Sebagai muslim, kita meyakini bahwa  kelak mata, telinga dan hati akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan mahkamah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang meleset dari perhitungan-Nya. Dia yang Maha Besar berfirman, "Setiap orang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya." (Qs. 74: 38). Karena diri kita sendirilah yang bertanggungjawab, maka sebuah keniscayaan untuk tidak sekedar ikut-ikutan tentang sesuatu. Sikap keberagamaan yang sejati adalah berani mengkritisi dan bersikap cerdas terhadap para pemimpin. Apakah benar apa yang disampaikan pemimpin/ulama tersebut adalah bagian dari agama atau bukan? Apakah Allah dan RasulNya menuntunkan hal demikian, atau tidak. Marilah kita bercermin dari ayat berikut ini. "Dan mereka berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar." (Qs. Al-Ahzab: 67). Firman tersebut memberi bukti bahwa memang adadi dunia ini jenis pemimpin, pembesar, orang yang kita tuakan, orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, bahkan orang yang kita sebut dengan guru, orang yang kita kira tinggi ilmunya, kyai, atau apapun, yang memang menyesatkan pengikutnya dari jalan yang benar.

Selain itu, malapetaka besar yang sering terjadi pula yaitu dimana para pemimpin tidak memenuhi apa yang diamanahkan kepadanya. Perhatikanlah ayat berikut ini:

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya .(QS. An-Nisa: 58-59)

Demikianlah. Semoga paparan ini dapat memberi hikmah kepada kita semua. Al Islam telah memberi tuntunan, bahwa siapapun itu; pemimpin maupun yang dipimpin, sama-sama wajib untuk patuh dan taat kepada apa-apa yang telah dituntunkan oleh Allah dan RasulNya. Kesemuanya memiliki kewajiban yang sama. Perbedaannya terletak pada besar/kecilnya tanggung jawab dan amanah. Pemimpin tentu memiliki tanggung jawab dan amanah yang lebih besar. Asas kepatuhan dan ketaatan ini juga memberi hikmah berupa perdamaian, persatuan dan kesatuan umat. Maka berpegang teguh pada persatuan, tidak memecah belah, tidak mengadu domba, juga merupakan kewajiban para pemimpin dan yang dipimpin. Siapapun dari kita, baik pemimpin ataupun yang dipimpin, akan menanggung beban tanggung jawab masing-masing dihadapan Allah SWT. Wallahua'lam bishawab.