Tampilkan postingan dengan label Taklid Buta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taklid Buta. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 April 2010

Perkataan para Imam untuk mencegah Taklid Buta

Mayoritas umat manusia terjebak dalam takliq buta. Itu adalah tipu daya syetan dalam menyesatkan umat manusia. Karena itu Al Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil (nash), dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo). Al Qur'an telah menjelaskan perihal taklid buta ini sebagai berikut:

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (AI-Maa'idah: 104)
Contoh di atas adalah contoh bertaklid kepada nenek moyang, dengan alasan mempertahankan tradisi. Tidak selamanya tradisi-tradisi itu baik, dan tidak semuanya buruk. Tradisi yang perlu dipelihara dan dipertahankan adalah tradisi-tradisi yang benar. Tradisi yang tidak benar, tentunya itu yang ditinggalkan. Bahkan sejatinya, kalau memang ingin mempertahankan tradisi leluhur, semestinya ikutilah tradisi yang diwariskan oleh leluhur manusia pertama, yaitu Adam AS. Beliau adalah nenek moyang seluruh manusia, nenek moyang dari nenek moyang kita sendiri, leluhur dari leluhur manapun yang disanjung-sanjung. Tradisi Adam AS sudah barang tentu merupakan tuntunan dari Allah SWT, yaitu yang berupa (Al Islam) yang terus diwarisi hingga kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada kita sebagai umat Rasulullah SAW.

Selain taklid kepada 'tradisi-tradisi karangan manusia', ada pula taklid yang berupa taklid buta kepada ulama, syekh, atau pemimpin-pemimpin yang dipuja-puja. Taklid ini begitu memuliakan para pemimpin pujaannya hingga melebihi batas-batas fitrahnya. Bahkan secara kasar maupun halus mereka meninggikan para imam mereka itu lebih tinggi dari dalil-dalil yang berasal dari Allah dan RasulNya.

Seorang pujangga pernah melantunkan syair kepada orang-orang yang bertaklid kepada imam mereka sebagai berikut:

"Aku katakan padamu,

bahwasannya Allah berfirman demikian,

RasulNya bersabda demikian,

namun lalu kamu menjawab,

'Syaikh saya telah berkata ....'"

Mayoritas umat manusia terjebak dalam takliq buta. Itu adalah tipu daya syetan dalam menyesatkan umat manusia. Karena itu Al Islam memerintahkan para pemeluknya untuk mengikuti dalil (nash), dan tidak memperkenankan seorang untuk bertaklid (baca: mengekor/membeo). Al Qur'an telah menjelaskan perihal taklid buta ini sebagai berikut:

"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?" (AI-Maa'idah: 104)

Contoh di atas adalah contoh bertaklid kepada nenek moyang, dengan alasan mempertahankan tradisi. Tidak selamanya tradisi-tradisi itu baik, dan tidak semuanya buruk. Tradisi yang perlu dipelihara dan dipertahankan adalah tradisi-tradisi yang benar. Tradisi yang tidak benar, tentunya itu yang ditinggalkan. Bahkan sejatinya, kalau memang ingin mempertahankan tradisi leluhur, semestinya ikutilah tradisi yang diwariskan oleh leluhur manusia pertama, yaitu Adam AS. Beliau adalah nenek moyang seluruh manusia, nenek moyang dari nenek moyang kita sendiri, leluhur dari leluhur manapun yang disanjung-sanjung. Tradisi Adam AS sudah barang tentu merupakan tuntunan dari Allah SWT, yaitu yang berupa (Al Islam) yang terus diwarisi hingga kepada Nabi Muhammad SAW, dan kepada kita sebagai umat Rasulullah SAW.

Selain taklid kepada 'tradisi-tradisi karangan manusia', ada pula taklid yang berupa taklid buta kepada ulama, syekh, atau pemimpin-pemimpin yang dipuja-puja. Taklid ini begitu memuliakan para pemimpin pujaannya hingga melebihi batas-batas fitrahnya. Bahkan secara kasar maupun halus mereka meninggikan para imam mereka itu lebih tinggi dari dalil-dalil yang berasal dari Allah dan RasulNya.

Seorang pujangga pernah melantunkan syair kepada orang-orang yang bertaklid kepada imam mereka sebagai berikut:

"Aku katakan padamu,

bahwasannya Allah berfirman demikian,

RasulNya bersabda demikian,

namun lalu kamu menjawab,

'Syaikh saya telah berkata ....'"

Kita lihatlah sekitar kita sekarang ini. Begitu banyak perkataan orang yang berdasarkan "kata imam saya...", "menurut syekh saya.....","raja saya berkata....", "guru besar saya telah bersabda....", dan lain sebagainya, yang sebetulnya hal-hal demikian tidak dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para Imam yang Empat (Imam Hambali, Imam Syafii, Iman Hanifah, dan Iman Malik) sesungguhnya menyuruh orang-orang untuk mengembalikan segala hal kepada dalil yang benar (Al Qur'an dan As Sunnah). Dengan kata lain, para imam sesungguhnya juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.

Berikut perkataan mereka:

Imam Abu Hanifah rahimahullah

Beliau mengatakan,
“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.”

Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan,
“Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”

Imam Malik bin Anas rahimahullah

“Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku.
Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah.
Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/32).

“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/91).

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

“Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.”
(Al-Majmu’ 1/63).

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah

“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).

Kita lihatlah sekitar kita sekarang ini. Begitu banyak perkataan orang yang berdasarkan "kata imam saya...", "menurut syekh saya.....","raja saya berkata....", "guru besar saya telah bersabda....", dan lain sebagainya, yang sebetulnya hal-hal demikian tidak dituntunkan oleh Allah dan RasulNya.

Perkataan Para Imam tentang Taklid
Para Imam yang Empat (Imam Hambali, Imam Syafii, Iman Hanifah, dan Iman Malik) sesungguhnya menyuruh orang-orang untuk mengembalikan segala hal kepada dalil yang benar (Al Qur'an dan As Sunnah). Dengan kata lain, para imam sesungguhnya juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.