Minggu, 14 April 2013

Temukan Diri Anda di Sini

"Ibarat kopi, aku adalah kopi yang ketika diminum, maka si peminum akan berhenti meminumnya dan mencari minuman lain."

Dee dengan bukunya, ibarat Dee dengan penggambaran tentang kopinya. "Lho, bukannya setiap orang menginginkan kebalikannya. Menginginkan dia menjadi sesuatu yang membuatmu kecanduan?"

"Itu filosofiku dalam setiap menulis bukuku. Ketika orang membaca bukuku maka wawasannya akan terbuka dan mencari yang lain. Aku ingin bukuku menjadi gerbang." Dee menjelaskan maksudnya. "Mungkin ini kopi pertobatan!" sambungnya tergelak.

Siang itu, 12 Maret 2006. di Tea Addict, Dee menyempatkan diri untuk ngobrol lebih jauh tentang buku terbarunya. Sebuah kumpulan cerita pendek dan prosa selama satu dekade yang dilabelinya, ‘Filosofi Kopi’.

Apa yang melatarbelakangi Dee menerbitkan Filosofi Kopi ini?

Dari dulu, aku, tuh, nggak percaya diri apakah aku bisa bikin yang namanya cerpen. Sebenarnya, nggak PD-nya lebih pada masalah kategorisasi. Selama ini, konotasi umum, cerpen itu empat sampai enam halaman, bla…bla…bla…dan ada aturannyalah. Sementara apa yang aku bikin selalu di luar aturan. Entah kepanjangan atau sangat pendek untuk disebut cerpen. Jadi, nggak pernah ada dalam pikiran aku, aku akan membuat yang namanya cerpen. Jadi, kebingunganku itu hanya masalah bentuk. Sampai satu saat, aku baca kumpulan cerpen Anna Castillo, penulis Amerika. Itu emang favorit aku banget. Pas aku baca, ternyata format penulisan Anna Castillo macam-macam. Ada yang memang ukuran cerpen, ada yang lebih panjang, bahkan ada yang cuma satu halaman. Jadi, persis banget ama materi yang aku punya. Dari situ, aku mulai berpikir, kenapa aku nggak bikin kumpulan cerpen dengan format yang aku punya? Aku mulai mengumpulkan tulisanku. Jumlahnya lumayan mencukupi. Tetapi,, karena aku mau bikin sekalian satu dekade, jadi aku tambahin dua terbaru, yaitu Mencari Herman dan Buddha Bar yang aku buat di tahun 2005. Sementara Rico de Coro, aku buat di tahun 1995.

Alasan kedua, aku merasa orang hanya melihat aku dari kacamata Supernova. Nah, Filosofi Kopi ini sifatnya untuk refreshing. Refreshing bagi pembaca dan bagiku juga. Kita sekali-kali bermain di format yang bukan novel dan tidak dalam kerangka Supernova.

Ada pertimbangan khusus terhadap pemilihan ‘Filosofi Kopi’ sebagai judul buku?

Kalau kita melihat buku secara keseluruhan, biasanya ketika kita baca buku saat bersantai. Bisa jadi, sambil menikmati teh atau kopi. Dalam membaca itu kan kita sebenarnya lebih mencari filosofi– filosofi ringan, kalau pun yang kita baca bukan bacaan filsafat, selalu ada upaya itu dari manusia. Jadi, aku pikir itu satu judul yang general dan mewakili kumpulan karya ini sebagai sebuah buku. Lagian, secara marketing….hehehe…Filosofi Kopi terdengar catchy aja.

Ide dasar apa yang coba kamu tawarkan dari Filosofi Kopi sendiri?

Ada 18 cerita di sini. Ketika aku membaca ulang semuanya, aku baru tersadar, ada benang merah yang tercipta tanpa aku sadari. Aku menyukai proses transformasi. Semua kisahku di sini adalah kisah transformasi. Kebanyakan sih memang kisah cinta. Tetapi bukan sekedar cinta sebagai sebuah proses emosi, tetapi juga proses pencarian jati diri.

Kalau untuk cerpen Filosofi Kopi sendiri, tentang tranformasi yang bagaimana?

Cerpen Filosofi Kopi dibikin tahun 1996. Itu adalah puncaknya aku suka banget sama kopi. Dari dulu, aku memang pengen mendedikasikan, pengen bikin cerita tentang kopi. Dari situ, aku mulai mereka-reka tokohnya. Sebenarnya, dari dulu aku memang bercita-cita punya kafe. Jadi sebetulnya, keinginan si Ben (tokoh dalam Filosofi Kopi) itu adalah keinginan aku. Permenungan-permenungan yang ada di dalamnya, adalah improvisasi. Tetapi ya itu, semuanya berawal dari kecintaanku pada kopi.

Apa menariknya kopi sehingga Dee ingin mendedikasikan sesuatu tentang kopi?

Aku melihat kopi itu berperan besar terhadap perubahan dunia. Manusia modern itu bekerja sebelas jam sehari, dan itu seperti menjadi kultur di seluruh dunia. Khususnya orang-orang urban, ketika mereka mau bekerja, mereka mengawali dengan minum kopi. Emang sih, mereka mencari kafeinnya. Tetapi itu telah menjadi sebuah kultur dan aku melihat kopi punya peran penting dalam pembentukan kultur masyarakat modern yang giat bekerja. Dan, itu ditampilkan oleh sosok si Ben. Ben yang perfeksionis dan ambisius. Aku juga ingin mengangkat sisi lain dari kopi. Ini diwakili oleh Pak Seno. Kopi kan pada dasarnya minuman pahit. Kita bisa berteori macam-macam tentang kopi, tetapi pada akhirnya, ini hanya masalah menuang serbuk kopi dan air panas. Dua tubrukan inilah yang kemudian menjadi sisi menarik dari cerita ‘Filosofi Kopi’.

Dari 18 cerita tersebut, cerita mana yang menggambarkan seorang Dee?

Buddha Bar. Banyak orang yang tidak mengerti makna Buddha Bar. Beberapa temanku mengkritik, apa sih maksudnya Buddha Bar? Tetapi bagi aku pribadi,  ketika aku bikin itu, ketika selesai…‘wow…gila!’. Pemahamanku tentang hidup, ya, seperti di Buddha Bar. Buddha Bar itu kan bercerita tentang lima karakter, yang mana mereka memang harus berlima. Ketika dicopot satu, makna kumpulan ini hilang. Mereka memang harus saling melengkapi satu sama lain. Tidak ada yang sempurna dari mereka. Apabila satu hilang, maka keseimbangan juga akan hilang. Menurutku hidup, ya, seperti itu. Aku bukannya orang yang mendukung kemiskinan, tetapi memang harus ada yang miskin, ada yang cantik, ada yang jelek. Dari kacamata Buddha Bar, tidak ada yang kurang. Mereka ada untuk melengkapi. Sebenarnya, ini Buddhis banget. Makanya, saya mengambil Buddha Bar sebagai judul. Kaitannya dengan kekinian besar sekali. Bahkan, ada kompilasi Buddha Bar. Ini bukan justifikasi salah atau benar. Ini adalah pandangan aku tentang hidup.

Untuk Rico de Coro, katanya akan dibuat film?

Iya, film animasi. Rico de Coro nggak mungkin difilmkan dengan cara biasa. Memang harus dalam bentuk animasi. Sebab, tokoh utama dalam cerita ini adalah kecoa. Makanya, ketika mereka (perusahaan yang ingin memfilmkan) membaca cerita ini mereka tertarik dan ingin memfilmkannya. Rencananya akan diproduksi pertengan tahun ini. Tahun depan udah bisa masuk bioskop.

Apa aja yang menginspirasi kamu dalam menulis kumpulan cerita ‘Filosofi Kopi’?

Untuk Mencari Herman, itu aku membuatnya berdasarkan cerita dari seorang temanku yang bernama Fanny. Temanku ini sangat terobsesi sekali mencari orang yang bernama Herman. Ia memulai pencariannya dari sejak kelas tiga SMP, dan baru menemukan Herman ketika ia kuliah. Itu pun ketemunya di angkot. Ketika orang itu memberikan kartu namanya, dan di kartu itu tertulis ‘Herman Suherman’. Aku amaze banget ama cerita si Fanny. Dan berpikir harus membuatnya menjadi satu cerita. Tentunya, ada plot yang aku ubah. Sebab, cerpen membutuhkan suspense, membutuhkan ‘tonjokan’ agar nggak berjalan flat. Makanya, dalam Mencari Herman, aku membuatnya berakhir tragis.

Kalau untuk Spasi (1998), adalah renunganku ketika masih rajin nongkrong di atap rumah. Dulu aku punya target, setiap kali sehabis melihat langit sore, aku harus menuliskan sesuatu sesudahnya. Karena itu, banyak karya-karyaku yang lahir di tahun yang sama. Seperti Salju Gurun, Kunci Hati, dan Spasi.

Kalo Rico de Coro itu pas lagi mandi. Gila… sepuluh menit aku mandi itu seperti sepuluh menit terlama dalam hidupku. Aaarrrggh….ada kecoa!. (Dee mengaku takut pada kecoa). Keluar dari kamar mandi, jam setengah delapan, aku langsung nulis sampai jam sebelas. Pas di kamar mandi tuh, aku mikirnya, gimana kalau kecoa itu suka sama aku, jadi bukan untuk nakut-nakuti. Cuma pengen ngunjungi aku aja. Jangan-jangan aku aja yang parno. Nah, idenya berawal dari situ.

Ada rencana promo untuk Filosofi Kopi ke depannya?

Rencana ideal kita (Dee dan GagasMedia) adalah promo di sepuluh kota besar. Target kita di luar Jawa. Soalnya, dari zaman Supernova, aku belum punya kesempatan promo ke luar Jawa. Padahal, pembeli dan pecinta buku di luar Jawa pun banyak. Pengennya ada sponsor yang bisa ngebantu sehingga kita bisa jalan ke sana dan mengunjungi mereka yang selama ini pengen bisa ketemu, sharing, diskusi dengan penulis favorit mereka tapi nggak kesampaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar