Jumat, 18 April 2003

BUDAYA UNTUK APA?

Jika orang ditanya; apakah budaya itu? Sebagian oang menjawab ludruk, wayang, reog, tandak, tari pendet. Sebagian lagi (kaum intelek) menjawab bahwa budaya itu adalah ‘kebiasaan’ yang meliputi kebiasaan ekonomi, politik, sistem kepercayaan, sistem matapencaharian, bahasa dan seni dalam lingkungan masyarakatnya.

Tetapi ketika ditanya untuk apa budaya itu, semua orang terdiam.

Memang budaya itu bukan sebuah alat. Tetapi jika dengan sedikit mengkaji, mengidentifikasi budaya yang hidup di lingkungan masyarakat maka akan diperoleh manfaatnya. Konflik-konflik yang terjadi di banyak daerah karena lebih disebabkan oleh seringnya kita mengabaikan fakta budaya setempat. Contoh, konflik berdarah di Sampit Kalimantan.

Pasuruan adalah kota multi kultural, artinya, di kota ini terdapat banyak adat kebiasaan, sistem nilai, norma yang satu sama lain berbeda-beda. Secara garis besar budaya Pasuruan itu saya bagi –meminjam trikhotominya Clifford Geertz-  budaya santri, priyayi, abangan, dan Cina. Banyak orang yang tidak sepakat dengan kategorisasi ini. Memang dalam tataran manifest (lahir) kategorisasi budaya di Pasuruan batas-batasnya telah ambruk. Dalam mengkonsumsi makanan misalnya, kaum santri suka sekali makan cap cay, koloke, bihun goreng, fuyung hay, bak pao. Dengan catatan yang dimakan itu tidak diharamkan dalam agama (baca:Islam).

Orang Cina Pasuruan (sekarang) maupun komunitas priyayi (juga sekarang) amat suka melahap makanan ke- arab-araban (santri) yang di masa yang lalu amat dibencinya seperti; sate kambing, gule kacang ijo, dhobi, maraq, kebuli, dan lain sebagainya. Begitu juga dalam hal cara berpakaian, hubungan intrapersonal, apalagi hubungan bisnis sudah tidak ada batas lagi.Tetapi dalam tingkat sistem nilai budaya terdapat perbedaan.

Plural adalah kenyataan perbedaan yang ada di masyarakat, dan kewajiban yang diperintahkan Allah kepada kita adalah untuk saling kenal mengenal. Sedangkan pluralisme adalah faham ideologi yang menafikan perbedaan. Semua agama sama saja, agamamu agamaku, agamaku agamamu.

Perbedaan bukanlah laknat.

Inna kholaqnakum min dzakarin wa untsa wa jaalnakum syu’uban wa qobailan li ta’arofu (Al Qur’an: Al Maidah:9).

Perjalanan budaya di kota Pasuruan sama panjangnya dengan kehadiran manusia itu sendiri. Periodeisasi morfologi budaya Pasuruan berurutan mulai dari pertama, kedatangan tiga agama; Hindu, Budha, dan Islam pada abad ke-9. Setelah berlabuh di Tanjung Tembikar (muara sungai Kraton Pasuruan), komunitas Hindhu dan Budha melanjutkan pengembaraan spiritualnya ke arah gunung-gunung dalam rangka meraih nirwana. Sedangkan komunitas Muslim (Muslim Timur Tengah maupun Muslim Siam, Cina) menetap di daerah pesisir yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang diberi nama Pasuruan (Memerlukan penelitian lebih lanjut, yang jelas bukan tanggal 8 Pebruari 1686) .

Kedua, kedatangan komunitas priyayi yang menaklukkan Pasuruan pada tahun 1617. Istilah priyayi berasal dari lingkungan keluarga kerajaan Mataram yaitu, poro-yayi, artinya ‘para adik’ yang kemudian budaya priyayi berkembang di kota Pasuruan.

Ciri-ciri priyayi yang paling menonjol adalah pemakaian gelar-gelar bangsawan Jawa. Secara berjenjang gelar-gelar itu dimulai dari; putra raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran; cucu raja bergelar Kanjeng Pangeran Haryo; buyut dalem (cicit) bergelar Bandara Raden Mas Harya; canggah dalem (piut raja) bergelar Raden Mas Panji; dan wareng dalem (oneng-oneng raja) bergelar Raden. (Susuhunan Amangkurat I (1645-1677), Serat Angger-Angger Papangkat, dalam Kraton Surakarta dan Yogyakarta, 1769-1874, hal. 459-462).

Ketiga, komunitas abangan. Istilah ini berawal dari zaman Sunan Kalijaga. Islam terbelah mendjadi dua, Islam futi’ah dan Islam aba’ah kemudian menjadi islam-abangan. Kaum ‘abangan’ sebenarnya penghuni awal Pulau Jawa sebelum kedatangan orang India. Sistem kepercayaannya adalah animisme-dinamisme. Walaupun demikian kedatangan mereka di kota Pasuruan secara besar-besaran mejelang G.30.S. PKI 1965.

Jadi budaya itu untuk apa, atau lebih jelasnya meneliti, memahami, mengenli, respek terhadap budaya setempat sebetulya untuk apa?

Jawabnya adalah seperti telah ditegaskan dalam Al’Quran dalam Surat Al Maidah ayat 9 tersebut di atas. Kewajiban kita bukan harus menceburkan diri menjadi satu ke dalam ke anekaragaman, tetapi kata kuncinya adalah ‘agar kita saling megenal’, agar kita tidak berubah muka menajdi sinkretisme budaya yang pada gilirannya menjadi sikretisme agama. Agamamu agamaku, agamaku agamamu. Semua agama sama saja.

Keengganan semua orang terhadap kata budaya disebabkan oleh pertama, pertarungan budaya pada zaman Orde Lama. Seni dipakai sebagai alat propaganda PKI dengan LEKRA-nya. Melalui lakon sandiwara ludruk: Matinya Gusti Alloh, matinya Malaikat, PKI memposisikan ideologinya sebagai musuh agama (Islam). Gayungpun bersambut sampai pada hari ini bahwa segala sesuatu yang ada ning, nong, ning, gong-nya dianggap sebagai musuh agama dan seyogyanya dijauhi. Jangan berharap apabila ada pagelaran wayang di kota Pasuruan penontonnya sampai berjubel-jubel.

Kedua, kita tidak berani beranjak dari pengertian bahwa budaya itu bukan hanya menggarap bidang seni.pertunjukan saja. Padahal budaya itu meliputi segala aspek perilaku manusia dalam menerjemahkan perannya dalam kehidupan lingkungannya. Ketua PP Muhammadiyah Dyn Syamsudin, pernah mencanangkan metode da’wah melalui pendekatan da’wah cultural, tetapi tidak direspon oleh warga Muhammadiyah karena mereka heran dan protes keras:. Wong Muhammadiya kate dikongkon ludrukan ta? (Apakah warga Muhammadiyah disuruh main ludruk?). Salah satu sebab mengapa ketika Amien Rais mencalonkan diri sebagai Presiden banyak warga Muhammadiyah yang tidak memilih, adalah karena Pak Amien membuat langkah blunder. Pak Amien jadi dalang wayang kulit yang disiarkan di salah satu tv swasta. Pak Dien, dan Pak Amien tidak di hawwil (tidak digubris) apalagi saya yang berambut panjang, selalu pakai celana jeans, jangan harap diminta jadi penceramah atau sekedar diberi kesempatan membacakan susunan acara.

Pertanyaan budaya untuk apa, juga melanda komunitas ‘non santri’. Awalnya, budaya dipakai sebagai alat ideology dan nyaris bahwa budaya itu ideology. Kemudian ada reaksi dari kaum ‘santri’ (Islam), dan reaksi itu di reaksi balik oleh komunitas ‘non santri’. Masih segar dalam ingatan kita di zaman Orde Baru sebelum Pak Harto dan Ibu Tien beribadah haji (Orde Baru ada dua jenis: Orde Baru sebelum dan sesudah Pak Harto beribadah Haji), wanita Islam dilarang memakai jilbab. Di sekolah, ibu Dharmawanita, Ibu PKK, PNS maupun –dan apalagi- karyawan swasta. Karir saya macet, gara-gara karena istri saya ndlurung pakai jilbab. Kelas yang berkuasa sebelum Pak Harto ‘masuk islam’ beranggapan bahwa jilbab adalah budaya arab, bukan budaya asli Indonesia.

Nampaknya, kesalah-fahaman terhadap budaya akan terus berlanjut apabila tidak ada usaha-usaha dari para pemuka masyarakat maupun elite politik untuk ‘menyudahi’ pertikaian ini. Bagi kaum Muslimin sudah jelas bahwa Allah menjadikan manusia ini laki-perempuan, bersuku-suku , berabangsa-bangsa agar saling kenal mengenal. Saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, ‘saling’ menganal masing-masing suku, ‘saling’ mengenal bangsa, ‘saling’ mengenal budaya dapat menyelamatkan bumi tetap dalam garis edarnya. ‘Kenali’ mengapa orang Islam itu wajib menjalankan ‘syari’at Islam, mengapa perempuannya mengenakan jilbab sehingga kita akan faham (karena berusaha mengenali) bahwa mereka melakukan hal yang demikian karena perintah agamanya. Mengenal akan menghindarkan kita dari kebencian, dan kebencian akan membuat kita tidak berlaku adil. Akibatnya, kita akan berusaha untuk ‘memusnahkan’ suku tertentu, agama tertentu, bangsa tertentu.

Budaya priyayi, santri, abangan, dan cina adalah bunga-bunga warna-warni yang ada di taman Pasuruan. Syah-syah saja bila seni reog-Ponorogo, wayang, seni-mataraman sering dipentaskan di Kota Pasuruan, tetapi menjadi kurang-ajar jika seni khas kota Pasuruan dipaksa jadi penonton. Mengeleminasi budaya asli sembari memanjakan seni tamu adalah perilaku ‘kolonialis-imperialis budaya’

Budaya untuk apa?

Agar kita saling kenal mengenal, sesudah itu timbul rasa memahami masing-masing komunitas, mengindarkan diri dari rasa kebencian, kemudian akan tergerak hatinuraninya untuk berlaku adil kepada diri sendiri maupun adil kepada orang lain..

Agar kita faham mengapa ada sebuah jalan sempit di atasnya bertuliskan: Turun!!! Dan di bawahnya ada gambar ‘clurit’ yang berlumuran darah, dan sebaliknya ada sebuah gang bertuliskan: Maaf terpaksa Anda menuntun kendaraan Anda, karena banyak anak kecil..

Gambar ‘clurit’ dan tulisan ‘maaf’ sudah cukup bagi sampean untuk bertindak lebih arif dalam menata kembali kesantunan etika agama. Komunitas ‘clurit’ akan menghargai, menghormati, tidak adigang, adigung , adiguna terhadap komunitas ‘maaf’, apalagi komunitas ‘maaf’ lebih berhati-hati terhadap komunitas ‘clurit’. Semoga. Amin!.

Kamis, 13 Juni 2002

Mengenal Komunitas Penganut Tolotang Di sul-sel



Istilah “Towani Tolotang” terdiri dari dua suku kata yaitu “Towani” dan “Tolotang”. Kata “Towani” masih mempunyai dua arti, yakni “To” artinya orang dan “Wani” adalah nama desa, dengan demikian Towani adalah orang yang berasal dari Desa Wani, tempat penganut kepercayaan tersebut berasal. Adapun kata “Tolotang” juga mempunyai dua arti yaitu “To” yang berarti orang dan “Lotang” berarti selatan. Dengan demikian “Tolotang” berarti orang dari selatan. Jadi apabila digabungkan keseluruhan kata “Towani Tolotang” berarti orang dari DesaWani yang tinggal di sebelah selatan. Adapun maksud dari sebelah selatan ini adalah tempat yang bernama Amparita bagian selatan.

Istilah Tolotang ini pertama kali di pakai oleh Penguasa Sidenreng sebagai sebutan terhadap orang-orang pendatang tersebut yang kemudian dikenal dengan nama aliran kepercayaan mereka. (Ato Mudzhar, 1977 :24)

Nenek moyang Kominitas Towani Tolotang berasal dari Wani, sebuah desa di wilayah Kabupaten Wajo ± 60 km dari Amparita. Pada awal abad ke-17, Raja Wajo Sultan Abd. Rahman yang bergelar Petta Matoa Wajo Sengkerru Petta Mulajaji, secara resmi memeluk agama Islam dan memerintahkan agar seluruh rakyatnya pun ikut memeluk agam Islam. Atas perintah tersebut rakyatnya pun patuh dan memeluk agama Islam, kecuali sekelompok kecil masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Wani menolak perintah tersebut dan masih mempertahankan kepercayaan mereka yang lama. Karena penolakan tersebut mereka pun di usir oleh sang raja untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo. Karena keputusan tersebut maka penduduk Desa Wani meninggalkan desa mereka di bawah pimpinan I Lagaligo dan I Pabbere. I Lagaligo dengan rombongannya menuju ke daerah Bacukiki yang sekarang masuk dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Parepare dan menetap di sana hingga ia meninggal dunia dan di kuburkan di sana. Sedangkan rombongan yang di bawa oleh I Pabbere menuju ke arah barat menyusuri pinggiran utara Danau Sidenreng, kemudian berhenti di sebuah lembah persawahan untuk beristirahat, sekitar 2 km dari sebelah utara Amparita. Di tempat itu mereka berdiri untuk melepas lelah, sehingga lembah tersebut diberi nama ”tettong” yang berarti ”berdiri”.

Perihal kedatangan rombongan I Pabbere ini diketahui oleh Raja Sidenreng yang bergelar Addatuan VII dan berkedudukan di Massepe ± 2 km sebelah selatan Amparita, segera memerintahkan utusannya guna mencari tau tentang maksud kedatangan I Pabbere dan rombongannya. Setelah tercapai kata mufakat antara rombongan tersebut dengan penguasa Sidenreng, akhirnya mereka pun di izinkan untuk menetap dan tinggal di wilayah tersebut dengan beberepa persyaratan yang dituang dalam satu perjanjian ”Ade Mappurana Onrong Sidenreng”.

Pokok-pokok isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ade Mappura OnroE.

b. Warialitutui

c. Janci Ripiasseri

d. Rappang Ripannennungeng

e. Agamae Ritanree Maberre

Artinya

a. Adat Sidenreng tetap utuh dan harus dipatuhi

b. Keputusan harus dipelihara dengan baik

c. Janji harus dipatuhi

d. Agama Islam harus dilangsungkan dan di jalankan

Khususnya mengenai persyaratan yang kelima, untuk sementara pelaksanaan syariat Islam seperti salat, puasa dan sebagainya di tunda dalam dua hal yaitu perkawinan dan kematian.

Pihak rombongan menerima perjanjian tersebut. Mereka tinggal di suatu tempat sekitar 3 km sebelah selatan Amparita. Di tempat itu sangat susah untuk memperoleh sumber air, sehingga diberi nama ”Loka Pappang” yang berarti ”susah dan lapar” . setelah mereka mengolah lahan tersebut dan ternyata hasilnya baik, maka nama Loka Pappang diubah menjadi ”Perrinyameng” yang berarti setelah susah datanglah senang. Di tempat itulah I Pabbere meninggal dan di kuburkan. Kuburan I Pabbere kemudian yang menjadi pusat persembahan tahunan orang Towani Tolotang.

Setelah beberapa tahun tinggal di Perrinyameng, oleh Addatuang Sidenreng persoalan mereka kemudian diserahkan kepada Arung Amparita, lalu mereka disuruh meninggalkan Perrinyameng untuk kemudian tinggal di daerah perkampungan Amparita bersama penduduk asli hingga sekarang.pemindahan oleh Arung Amparita mungkin dimaksudkan agar proses integrasi antara pengungsi dan penduduk asli dapat berjalan lebih cepat atau untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap mereka.

Komunitas Towani Tolotang di pimpin oleh seorang pimpinan tertinggi yang disebut ”Uwatta” dan uwa-uwa” yang memimpin kelompok-kelompok kecil di bawahnya. Di Amparita terdapat seorang Uwatta dan tujuh orang uwa, memimpin seluruh penganut Towani Tolotang baik yang tinggal di dalam maupun di luar Amparita. Pengangkatan seorang uwatta dapat ditunjuk oleh uwatta yang lama sebelum ia meninggal atau dipilih oleh di antara uwa-uwa sebelum mayat uwatta yang lama dikuburkan. Jabatan uwatta dan uwa dapat dipegang oleh laki-laki dan perempuan, dan orang yang menempati kedudukan itu lazim disebut sebagai ”Pemegang Bunga”. Ada tidaknya jabatan uwa pada diri seseorang dan keluarganya sekaligus memperlihatkan status seseorang itu dalam stratifikasi sosial mereka. Uwatta dan para uwa beserta seluruh keluarganya dipandang sebagai keturunan langsung dari pendiri lalu diataati karena dinilai sama dengan pendiri kepercayaan itu sendiri. Menurut mereka, pendidir pertama kepercayaan Towani Tolotang adalah La Panaungi yang kuburannya kini terdapat di Kabupaten Wajo.

Penganut Towani Tolotang mengakui dan mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut ”Dewata SeuwaE”. Mereka juga percaya dengan adanya hari kiamat yang akanmengantarkan manusia kepada kehidupan periode berikutnya di hari kemudian yang disebut ”Lino Paimeng” . di alam kemidian itulah terdapat ”Lipu Bunga” sebagai tempat yang mentaati perintah Dewata SeuwaE para uwa, mereka tidak mempunyai konsep tentang neraka. Adapun nasib yang akan menimpa mereka di hari kemudian itu sepenuhnya mereka gantungkan kepada uwatta. Ajaran-ajaran itu menurut mereka diberitahukan kepada manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada La Panaungi pendiri Towani Tolotang.

Bagi mereka kehidupan sekarang adalah periode kedua. Manusia periode pertama telah musnah pada masa Sawerigading dan pengikutnya. Mereka percaya bahwa Sawerigading adalah cucu kedua dari PatotoE selaku pemilik alam raya ini. Menurut kepercayaan mereka, pada susatu hari PatotoE bangun dari tidurnya dan diketahuinya bahwa ketiga pesuruhnya masing-masing bernama Rukkelieng, Rumma Makkampong dan Sagian Jung tidak ada di tempat. Tidak ada yang mengetahui kemana mereka pergi . ketika mereka kembali ke istana PatotoE, mereka membawa berita bahwa ada bumi yang kosong sambil mengusulkan bahwa ditempat itu dapat ditempatkan salah satu putra PatotoE. Usul itu dalam Lontara disebut dengan ”Mula Ulona Batara Guru” yaitu “Masselingi Aju Sengkena SiasentaE Mai Rikawa” yang berarti suatu rencana penempatan manusia di dunia yang kosong.

Setelah PatotoE membicarakan usul para pesuruh dengan isterinya bernama Datu Palinge dan seluruh pimpinan kayangan. PatotoE memutuskan untuk menurunkan anaknya yang bernama Batara Guru ke bumi. Batara Guru inilah yang disebut ”Tomanurung” yang berarti orang yang turun. Setelah ia tinggal di bumi, Batara Guru mengalami banyak kesulitan karena sendirian, maka kepada PatotoE dimintalah agar secara berangsur-angsur diturunkanlah lagi manusia ke bumi untuk meramaikan dunia., dan permintaan itupun dikabulkan. Batara Guru kawin dengan Nyili Timo, puteri dari Guru Riselen, dan melahirkan seorang anak yang bernama Batara Lettu. Batara Lettu kawin dengan Dattu Senggeng, puteri dari Laurungpessi yang kemudian melahirkan dua anak kembar seorang puteri bernama I Tenriabeng dan seorang putera bernama Sawerigading yang kemudian kawin dengan I Codai atai Datunna Cina, seorang puteri dari negeri Cina. Sawerigading inilah yang dianggap sebagai manusia luar biasa, banyak memberikan ajaran berupa lambang kepahlawanan. Setelah Sawerigading dan pengikutnya musnah karena banyak menimbulkan kekacauan di dunia, maka manusia berikutnya dipilih oleh Dewata SeuwaE untuk diberi wahyu dan disuruh mengajarkan kepada manusia adalah La Panaungi.

Di awal persiapan penelitian, saya membayangkan komunitas tolotang towani berada di wilayah terpencil yang jauh dari sentuhan modernitas ditambah dengan sikap hidup yang cenderung menolak kehidupan modern. Namun kesan semacam itu berubah setelah saya mendapat informasi yang cukup memadai tentang keberadaan komunitas ini. Sejumlah buku dan percakapan dengan beberapa orang di makasar menginformasikan bahwa pusat komunitas ini ada di sebuah desa yang menjadi kota kecamatan di wilayah kabupaten Sidenreng Rappang sulawesi selatan. Sebuah ibu kota kecamatan tentu merupakan wilayah yang paling dekat dengan modernitas, paling tidak di kawasan kecamatan tersebut. Kesan ini semakin tertegaskan ketika saya menginjakkan kaki di Amparita.

Amparita terletak sekitar 8 kilometer dari Pangkajene, Ibu Kota kabupaten Sidenreng Rappang. Dari Makasar jaraknya sekitar 231 kilometer. Jarak sejauh ini bisa ditempuh dalam waktu 4,5 jam dengan menggunakan kendaraan umum. Angkutan umum dari Makasar ke Pangkajene atau ke Amparita menggunakan kendaraan sejenis panther atau kijang dengan penumpang sebanyak 7 orang. Angkutan yang langsung menuju Amparita lebih jarang dijumpai ketimbang yang menuju Pangkajene. Saya sendiri naik jurusan Pangkajene dengan ongkos 30 ribu rupiah, kemudian naik angkot (masyarakat sulsel menyebutnya pete-pete) menuju Amparita dengan ongkos 3 ribu rupiah.

Amparita secara administratif berbentuk kelurahan dan dipimpin oleh lurah yang diangkat oleh Bupati. Di sebelah timur, kelurahan Amparita berbatasan dengan dengan Desa Teteaji, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Allakuang dan Toddang Pollu, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Masseppe dan sebelah utara berbatasan dengan Arateng. Dari catatan BPS Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 2005, luas wilayah Amparita adalah 6, 69 km2 . Pada musim kemarau seperti sekarang ini kawasan Amparita dan sekitarnya tampak berdebu, kering, kusam, dan sangat terik. Tapi, konon, kata seorang penduduk di sini, jika musim penghujan tiba, air akan menggenang di mana-mana membuat jalanan menjadi becek tak terurus.



Amparita termasuk wilayah yang sangat mudah dijangkau. Jalan menuju tempat ini berkondisi mulus sebab jalur yang melintasi Amparita termasuk jalan poros Pangkajene-Soppeng. Jalanan yang menghubungkan dengan desa-desa tetangga juga relatif bagus. Meski demikian, jalanan di lorong-lorong pemukiman masih berupa jalan tanah yang berlubang dan tidak rata. Di Amparita juga terdapat pasar yang cukup besar. Secara administratif pasar ini terletak di wilayah Kelurahan Toddang Pulu, namun jaraknya tak lebih dari sepelemparan batu dari wilayah Amparita. Bahkan nama pasar itu sendiri tetap bernama Pasar Amparita.

Dari data Kecamatan Telluu LimpoE dalam Angka, Kelurahan Amparita terdiri atas dua lingkungan yaitu Amparita I dan Amparita II dengan jumlah RW (Rukun Warga) sebanyak 6 (enam) dan RT (Rukun Tentangga) sebanyak 18 (delapan belas).

Fasilitas pendididikan di sini saya kira cukup memadai. Setidaknya ada 2 TK, 1 Sekolah Dasar, dan 1 SMP. Ada pula MI, Mts, dan MA. Saya amati letak sekolah-sekolah tersebut tidak terlalu jauh dari pemukiman. Di Amparita ini memang tidak ada SMA. Namuun letak sekolah tingkat atas di kecamatan Tellu LimpoE ini juga tak terlalu jauh dari Amparita.

Dari data BPS, jumlah penduduk Amparita hinga tahun 2004 adalah 4044 jiwa. Jumlah laki-laki di wilayah ini lebih sedikit ketimbang jumlah penduduk perempuan. Laki-laki hanya berjumlah 1854 sementara perempuan 2190. Pertambahan penduduk di wilayah ini cenderung stabil sebagaimana rata-tata pertambahan penduduk di kabupaten sidenreng rapang yang cuma 1,05 persen. Dari jumlah penduduk tersebut di atas, pemeluk Hindu berjumlah 2.105, Islam berjumlah 1932, protestan 7 jiwa dan tidak ada penganut Budha dan Katolik di Amparita ini. Dari data BPS tersebut, bisa dipastikan bahwa pemeluk agama Hidnu yang tercatat di sana seluruhnya adalah pemeluk Tolotang karensa sejatinya—dari informasi masyarakat sini—tak ada penganut Hindu di kawasan ini. Dengan demikian, di kelurahan Amparita jumlah pemeluk Towani Tolotang lebih banyak ketimbang pemeluk Islam.

Para penganut Tolotang ini tidak hanya tinggal di Amparita, namun juga tersebar di seluruh wilayah Sidenreng Rappang. Di kecamatan Tellu LimpoE sendiri jumlahnya lebih dari 6000 orang. Di seluruh kabupaten—dari data sensus 2000- ada 20.000an orang. Data sensus ini memang tak menunjuk secara pasti jumlah penganut tolotang karena rancunya klasifikasi dengan pemeluk Hindu-Bali yang mungkin ada di Sidenreng Rappang. Dalam catatan sensus tahun 2000 tersebut tercatat jumlah pemeluk hindu adalah 1479 sedangkan yang tergolong pada kolom “lainnya” adalah 19888 orang. Kategori “lainnya” ini dimaksudkan untuk penganut kepercayaan. Dari data ini memang susah untuk mengetahui secara definitif jumlah penganut Tolotang di kabupaten ini. Sebab yang tercatat dalam kategori Hindu bisa jadi tidak semua adalah Tolotang namun juga ada Hindu Bali, demikian juga untuk catatan kategori penganut kepercayaan. Ketika saya tanyakan hal ini pada seorang petugas BPS di kantor BPS Kabupaten, ia menjelaskan bahwa biasanya tolotang dimasukan ke dalam penghayat kepercayaan namun ada pula sebagian yang dimasukkan ke kolom Hindu. Dari sini bisa dikira-kira jumlah penganut tolotang di wilayah Sidenreng Rappang ini adalah berjumlah sekitar 20.000an. Estimasi uwa la unga, seorang pemuka tolotang di Amparita, jumlah kaum tolotang mencapai sekitar 50.000, sementara tokoh tolotang yang lain menyebut 70.000 orang. Menemukan jumlah definitif penganut tolotang memang susah karena tak ada catatan pastinya, namun bisa dikatakan bahwa jumlahnya mencapai puluhan ribu orang di wilayah Sidenreng Rappang saja.

Para pemeluk tolotang ini memang tidak hanya tingal di wilayah Amparita atau di kabupaten Sidenreng Rappang saja, namun telah banyak yang merantau ke berbagai wilayah di tanah air. Ada sejumlah orang di Makasar, di Bali, di Jawa, dan di Kalimantan. Meski telah merantau kemana-mana namun mereka tetap terikat pada locus yang sama: Amparita. Sebab di Amparita inilah terdapat pranata tolotang seperti para uwatta dan juga tempat ritual sipulung yang ada di perrinyameng di sebelah barat Amparita. Seorang tolotang tidak bisa tidak harus pulang ke Amparita untuk menghadiri ritual-ritual khusus tolotang di tempat ini. Menjadi seorang tolotang, maka ia harus terhubung dengan para uwatta dan lokasi-lokasi ritual di Amparita. “Home” bagi penganut tolotang adalah Amparita. Persebaran pemeluk tolotang ini juga tidak bisa dikatakan sebagai diaspora, sebab di wilayah yang baru, meski beranak pinak, mereka tidak bisa membuat pranata keagamaannya sendiri seperti mengangkat pimpinan spiritual atau membuat tempat peribadatan baru. Oleh karena itu, kendati berjumlah banyak, mereka tetap tak bisa dipisahkan dengan pimpinan spiritual dan pranata kepercayaan yang ada di Amparita. Saya kira inilah yang membedakan dengan agama-agama besar seperti Islam dan Kristen yang tak harus punya lokus tertentu yang dimaknai sebagai pusat. Islam memang punya Ka’bah, namun seseorang bisa menjadi islam tanpa sekalipun menjejakkan kaki di tanah Arab. Sementara untuk menjadi tolotang,dia harus terikat dan terhubung dengan para uwatta di Amparita dan dengan situs-situs ritual mereka di sekitaran Amparita.

Uwatta yang saya sebut di atas adalah para pimpinan tolotang yang menjadi semacam “perantara” untuk menghubungkan individu tolotang dengan Tuhan atau Dewata Seuwae. Informasi saya menganai uwatta ini masih sangat sedikit. Di lain kesempatan akan saya ceritakan lebih banyak mengenai kelembagaan agama tolotang ini.

Secara etnis, kebanyakan masyarakat Amparita adalah bugis. Ada beberapa pendatang dari etnis Toraja, Makasar, dan Jawa. Para pemeluk Tolotang sendiri adalah dari etnis bugis. Bahasa yang mereka gunakan juga bahasa bugis. Tidak ada bahasa khusus untuk pemeluk tolotang. Demikian pula tidak ada pakian khusus yang membedakan mereka dengan komunitas lain. Jadi secara fisik tidak bisa dibedakan mana penganut tolotang dan mana yang bukan. Kadang pembedaan yang kasat mata bisa dilakukan ketika mereka sedang melakukan ritual tertentu. Itupun terbatas karena tak semua warga tolotang melakukan ritual di rumah uwatta secara bersama-sama. Ritual bersama hanya terjadi setahun sekali di bulan Januari. Demikian juga, para penganut islam bisa dilihat ketika mereka sedang ke masjid. Namun dalam keseharian, di pasar misalnya, nyaris mustahil untuk memilah mana penganut tolotang dan mana yang bukan.

Kebanyakan pendududk Amparita adalah petani. Tanah di kawasan Amparita dan secara umum di Sidenreng Rappang memang cocok untuk lahan pertanian. Bahkan konon kabuaten Sidenreng Rappang adalah lumbung padi tersbesar di kawasan Indonesia Timur. Luas lahan pertanian di Amparita adalah 478,10 Ha jauh lebih luas dari luas pekarangan yang hanya 37, 10 Ha. Selain bertani, sebagian masyarakat juga bekerja sebagai peternak. Selain itu ada pula yang menjadi guru dan pegawai. Masyarakat tolotang memang tidak punya profesi khusus yang harus ditekuni sebagaimana masyarakat sedulur sikep yang mesti menjadi petani. Tidak ada ajaran tolotang yang melarang atau mengharuskan orang untuk menekuni profesi tertentu. Tentu saja ada larangan untuk mencuri dan perbuatan kriminal lainnya. Oleh karena itu para penganut tolotang mempunyai profesi yang sangat beragam. Mulai dari petani hingga menjadi tentara atau pengusaha. Tingkat pendidikan komunitas Tolotang juga relatif tinggi, saya jarang menjumpai anak putus sekolah si tingkat SMP. Kebannyakan di kalangan muda sudah lulus SLTA bahkan banyak pula yang meneruskan ke jenjang perguruan tinggi.

Dari sini bisa dikatakan bahwa komunitas ini sangat terbuka dengan modernitas. Informasi dari pemeluk tolotang memang menyatakan bahwa tak ada larangan khusus terhadap pencerapan bentuk-bentuk kemajuan seperti pembangunan dan modernisasi. Tolotang hanya sebatas pada sikap kepercayaan dan ritual. Sepanjang kepercayaan dan ritual tetap terjaga, maka sseorang tidak akan kehilangan maknanya sebagai seorang tolotang. Seorang peserta seleksi AFI yang sempat lolos hingga jakarta, namanya Tenri Ukke, adalah seorang penganut tolotang. Ayahnya, Uwa Tasi’, termasuk tokoh terkemuka di Amparita ini. Tenri Ukke sendiri adalah penyanyi daerah yang cukup ternama di Sulawesi Selatan ini. Pemuda Tolotang lainnya, Alloi Tahir, adalah penjaga gawang PSM Makasar saat menjuarai liga sepakbola PSSI perserikatan periode 1991/1992. Dengan bangga ia sering bercerita masa-masa jayanya pada saya. Saya juga mendapat informasi bahwa ada seorang penganut tolotang kini menjabat sebagai komandan kodim di wilayah Bali.

Dari segi ekonomi, sejauh pengamatan sekilas saya, bisa dikatakan bahwa kalangan pemeluk tolotang—terutama elit-elitnya—adalah orang yang cukup berada. Mereka punya modal ekonomi dan modal sosial yang lebih dari memadai. Saya sendiri tinggal di rumah seorang pemeluk tolotang yang merupakan pengusaha ternak sukses di wilayah ini. Ia setidaknya punay 7000 ayam petelor yang bisa punya omset sekitar 60 juta tiap bulan. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten selama dua periode. Pergaulannya sangat luas dan punya hubungan erat dengan elit-elit di wilayah kabupaten ini. Tempo hari saya juga menyinggahi pemeluk Tolotang yang mempunyai tiga buah usaha penggilingan padi besar di Pangkajene. Bahkan pada periode 2004-2009 ada dua pemeluk Tolotang yang menjadi anggota DPRD di kabupaten Sidenrang Rappang ini. Tiga kafe di wilayah pangkajene juga dikelola oleh penganut tolotang (namun kafe dalam pengertian di Amparita sini adalah sekedar warung minum di malam hari dengan hiburan karaoke dan gadis-gadis pelayan. Sebuah kafe yang sempat saya datangi terletak di pinggir kampung dengan bangunan sederhana beratapkan seng dan berdinidng kayu). Sejumlah elit tolotang termasuk menjadi orang yang disegani di Sidenreng Rappang ini. Jalinannya yang erat dengan aparat dan pejabat pemerintah membuatnya punya akses ke berbagai sumberdaya.

Kondisi ini, ditambah dengan hubungan kekerabatan yang sangat kuat, membuat para penganut tolotang menjadi sebuah komunitas yang cukup kokoh. Sejak kesepakatan untuk sepenuhnya mendukung Golkar pada aakhir 70-an, intervensi pemerintah teradap komunitas ini sudah sangat jauh menurun dibanding akhir 60-an atau awal 70-an. Terlebih jumlah penganut tolotang yang sangat banyak, membuat posisi tawar mereka menjadi sangat tinggi.

Meski demikian, yang masih mengganjal bagi komunitas ini adalah ketika sejak tahun 1966 hingga sekarang mereka harus dikategorikan sebagai Hindu. Padahal, menurut mereka, tak secuilpun keyakinan dan sistem kepercayaan mereka yang merupakan bagian dari Hinduisme. Hingga sekarang, jika untuk urusan administratif, seperti KTP, Pernikahan, atau untuk masuk sekolah, para penganut tolotang ini mengidentifikasikan diri atau diidentifikasi sebagai pemeluk Hindu.

Kamis, 06 Juni 2002

Tips Jitu menambah Tinggi Badan Pada Anak

 Jika membicarakan masalah Tinggi Badan mungkin tidak ada habis-habisnya. Banyak orang terobsesi untuk mempunyai tinggi badan yang ideal atau bahkan lebih tinggi lagi, tetapi perlu diketahui tinggi badan yang terlalu tinggi atau Gigantisme juga dapat membuat orang kurang pede, jangan sampai anda terlalu terobsesi untuk tinggi dan melupakan kesehatan diri sendiri.

Tinggi badan sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

    Faktor Gen
    Faktor Lingkungan
    Faktor Gizi

Apakah bisa tinggi dengan meminum susu?
Menurut para ahli, susu tidak terlalu berbengaruh pada tinggi badan tetapi sangat berpengaruh untuk menambah massa tulang, tetapi jangan lantas mengurangi konsumsi susu, karena menurut saya susu sedikit banyak membantu pertumbuhan pada masa anak-anak hingga remaja, susu sangat-sangat diperlukan untuk kekuatan tulang dan kecerdasan.
Olah raga dapat menambah tinggi badan?
Seperti yang telah saya posting sebelumnya tentang cara menambah tinggi badan. Tak dibungkiri, olah raga sangat-sangat berpengaruh. Khususnya pada olah raga renang, volly dan basket. Lihat saja para memain volly atau basket, mereka mempunyai tinggi badan diatas rata-rata. Untuk renang dapat membantu merenggangkan sambungan antar tulang, dengan begitu pertumbuhan tinggi badan dapat maksimal.
Penyakit ketika anak-anak
Penyakit kronis ketika kecil dapat berpengaruh pada pertumbuhan anak nantinya, seperti penyakit TBC.
Bagaimana cara memprediksi tinggi badan anak?
Tips yang saya kutip dari suatu acara di salah satu stasiun TV Swasta di Indonesia ini hanya prediksi, jadi jangan dipakai sebagai patokan karena tinggi badan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diatas.

    Untuk menghitung tinggi badan anak laki-laki:

Tinggi badan Ayah + Tinggi badan Ibu dibagi 2 ditambah 7
tinggi badannya bisa lebih atau kurang dari 10 cm dari prediksi.

    Untuk menghitung tinggi badan anak perempuan:

Tinggi badan Ayah + Tinggi badan Ibu dibagi 2 dikurangi 7
tinggi badannya bisa lebih atau kurang dari 8,5 cm dari prediksi.

Jika anda mempunyai tinggi badan yang kurang dari rata-rata jangan berkecil hati, tunjukkanlah kelebihan dan potensi anda. Mungkin saja anda mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Peran orang tua juga sangat berpengaruh disini, untuk meningkatkan percaya diri anak dan meyakinkan anak bahwa tinggi badan bukanlah segalanya karena banyak orang yang sukses dengan mempunyai tinggi badan yang kurang dari rata-rata.

Rabu, 01 Mei 2002

METODE PELATIHAN TENAGA DALAM



Tenaga dalam pada umumnya diaktifkan melalui olahraga pernafasan. Dengan beberapa teknik pernapasan diantaranya: pernapasan perut, pernapasan dada, pernapasan pundak maupun gabungan. Olah raga ini diajarkan oleh kelompok senam pernafasan dan kelompok olah raga beladiri. Seseorang menekuni tenaga dalam untuk beberapa tujuan, termasuk untuk olahraga, penyembuhan diri, meditasi, relaksasi, dan penunjang olah raga beladiri

Minggu, 10 Juni 2001

jasa pengisian tenaga dalam aji bandung sengoro jarak jauh/langsung tampa kirim media

tenaga dalam aji bandung sengoro merupakan ilmu yang belum di bahas di
dunia internet padahal keilmuan ini sudah ada sekitar ratusan tahun
lalu, ane sendiri baru menguasa dan mendapatkan ilmu ini dari guru gaib
ane dan memberikan ane kepercayaan untuk menurunkannya ke orang lain.

aji bandung sengoro spesialits nya bisa tahan pukul saat berhadapan
dengan musuh, sehingga jika kena pukulan terasa seperti angin, selain
itu ilmu tenaga dalam aji bandung sengoro bisa juga melipat gandakan
pukulan sehingga saat berhadapan musuh bisa memukul dengan power yang
kuat.

aji bandung sengoro mantra nya mudah di hapal karena pendek sehingga
gampang mempergunakannya, selain untuk kekuatan badan ke ilmuan ini juga
bisa menambah keberanian dan juga kewibawaan anda



mahar 300rb

Selasa, 01 Mei 2001

CARA MEMBANGKITKAN TENAGA DALAM BAGI PEMULA



Pada dasarnya setiap orang memiliki apa yang disebut dengan tenaga dalam, hanya saja mereka tidak mengetahui bagaiman cara membangkitkan atau mengembangkannya.

Tenaga dalam itu sudah ada sejak manusia dilahirkan. Tetapi tenaga itu masih pasif dan sewaktu-waktu akan bangkit bila orang tersebut dalam keadaan panik, tidur berjalan, terhipnotis atau ketakutan yang luar biasa.

Manusia memiliki unsur kimia tubuh (Body Chemistry) yang bernama ATP (Adenosin Tri Phosphate). ATP ini dapat berubah menjadi energi melalui proses metabolisme tubuh. Secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut :



O2 + ATP + Glikogen Energi



ATP berfungsi sebagai energi cadangan. Misalnya, setelah kita berolahraga dan kelelahan, kemudian bila diistirahatkan sejenak maka tubuh kita akan pulih kembali.



Energi yang dihasilkan oleh ATP dalam keadaan sehari-hari berupa panas tubuh, membantu lancarnya penyaluran adrenalin, menghidupkan kimia tubuh untuk membentuk kekebalan tubuh (zat antibodi), menghidupkan aktifitas pencernaan dan menghidupkan semua aktifitas organ dalam tubuh manusia.



Berdasarkan penelitian, manusia dalam kehidupan sehari-hari hanya menggunakan sekitar 2,5% dari seluruh fasilitas energi tubuhnya. Sedangkan yang 97,5% lainnya tersembunyi sebagai cadangan di ulu hati.



Permasalahannya adalah bagaiman cara mengoptimalkan dan membangkitkan energi yang tersimpan itu agar dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.



Manusia jika mampu meningkatkan kekuatannya sebesar 0,1-0,3% (sehingga menjadi 2,6-2,8%) dapat membunuh seekor kuda dalam sekali pukul atau dapat mematahkan lima batang kikir baja yang ditumpuk, memecahkan batu kali pun bukan halangan bagi yang memiliki tenaga dalam.

Tenaga dalam atau energi cadangan adalah suatu energi yang berpusat pada syaraf-syaraf di sekitar ulu hati dan setelah dibangkitkan akan berkumpul pada salah satu bagian tubuh yang disebut dengan solar plexus atau kundalini.



Menurut berbagai sumber, kundalini merupakan bagian dari tubuh manusia yang berbentuk tiga setengah lingkaran, terdapat diantara tulang ekor dan kemaluan di bawah pusar. Bentuknya seperti ular yang sedang bergulung atau melingkar.



Jadi dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa sumber tenaga dalam adalah ulu hati, bukan solar plexus seperti anggapan orang selama ini. Padahal solar plexus adalah tempat berkumpulnya energi cadangan tersebut setelah dibangkitkan.



Cara Membangkitkan Tenaga Dalam



Satu-satunya jalan ialah dengan cara mengubah pernafasan biasa menjadi pernafasan spesial, yaitu dengan mengoptimalkan oksigen yang masuk jangan sampai terbuang percuma sedangkan untuk bagian lain harus seimbang.



Untuk membangkitkan energi cadangan secara cepat, oksigen harus diputarkan secara cepat pula ke seluruh tubuh dan membuang gas beracun CO2 secara cepat.



Karena itu, saat membuang nafas badan harus dikejangkan. Dengan pengejangan tubuh, oksigen akan berputar membentuk pusaran energi yang menyerap seluruh energi di tubuh yang tersebar dan tersembunyi. Sedangkan pembuangan gas beracun dilakukan dengan cara membuang nafas melalui mulut.



Bila kedua hal tersebut dilakukan maka oksigen yang berputar di dalam tubuh kita adalah oksigen bersih tanpa CO2. Ini salah satu rahasia juga, mengapa orang-orang yang mempelajari tenaga dalam secara benar selalu sehat dan jarang sakit.





Fungsi dari tenaga dalam:



1. Tenaga fisik menjadi jauh lebih kuat



2. Untuk mempertajam panca indera.



3. Untuk membangkitkan indera keenam.



4. Untuk menghancurkan benda-benda keras.



5. Untuk meringankan tubuh.



6. Untuk memperkuat memori otak.



7. Untuk meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh terhadap serangan fisik dan serangan penyakit.



8. Untuk memperkuat benda lemas.



9. Untuk Telekinetik/menggerakkan benda dari jarak jauh

Rabu, 18 April 2001

Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).

Mengapa kita memerlukan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah?

1. Kepentingan akan adanya pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992 yang lebih merupakan konsep filosofis.

2. Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu.

3. Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai-guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21.

4. Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serba melintasi) yang dibawa oleh globalisasi (proses hubungan-hubungan sosialekonomi- politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.

5. Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari Muhammadiyah sendiri.

 

Untuk siapakah Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini?

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah menjadi pedoman bagi seluruh warga Muhammadiyah, termasuk para pimpinan, anggota pengurus, pimpinan dan karyawan amal usaha, pimpinan sekolah, guru-guru, penjaga sekolah, satuan keamanan,  dan tidak terkecuali pula yaitu para pimpinan dan seluruh anggota ortom-ortom. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini juga bisa diikuti oleh para simpatisan dan dapat dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan apa itu sesungguhnya Muhammadiyah. Berikanlah buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini kepada tetangga, teman sejawat, dan relasi anda. Dengan begitu, mudah-mudahan mereka akan mengenal apa itu Muhammadiyah, bagaimana perilaku kehidupan Islami yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah. Karena tak bisa kita pungkiri, beberapa orang yang mengaku warga Muhammadiyah justru tindak-tanduknya, ucapannya, sudah sangat jauh dengan apa yang sudah Islam ajarkan. Tentunya hal ini membuat malu persyarikatan. Bahkan tidak itu saja, namun juga membuat malu bangsa, membuat malu agama Islam. Bisa jadi orang tersebut memang bermuhammadiyah sekedar hanya mencari kedudukan atau jabatan di pimpinan pusat, di pimpinan wilayah, di pimpinan daerah, di pimpinan cabang, di pimpinan ranting, di ortom-ortom, dan lain sebagainya. Atau bisa jadi pula mereka sekedar hanya mencari peruntungan nasib di sekolah-sekolah Muhammadiyah,  di rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah, di kampus-kampus Muhammadiyah, di pantii asuhan-panti asuhan Muhammadiyah, atau di amal usaha Muhammadiyah lainnya. Mereka mencari penghidupan di Muhammadiyah, tetapi bukan menjaga dan mengukuhkan nilai-nilai Muhammadiyah namun justru menghancurkannya. Na'udzubillahi min dzalika.